Tuesday 7 November 2017

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuangan, tapi juga hal-hal lainnya, termasuk mental. Emang sih lebih enak hidup sendiri, tapi yang namanya bener-bener sendiri di negeri orang dan saat itu di Trier anak-anak yang sebaya aku itu gak ada. Kalau pas Aupair sih ada tapi cuma Pasu, Clara, Indri sama Eky dan mereka langsung pindah keluar dari Trier selepas Aupair.

Selama Aupair pemasukanku kurang lebih bisa mencapai 700 € tapi setelah masa-masa Aupair selesai langsung deh pemasukanku menurun drastis karena berkurang 380 € dari uang saku Gastfamilie. Uang 320 € tiap bulan itu ga cukup untuk bayar tagihan. Bayangin aja, 230 € untuk kamar di asrama, 30 € untuk bayar internet dan 44 € untuk bayar asuransi (*dulu masih pakai asransi Privat dari Dr. Walter), totalnya jadi 304 € belum termasuk makan, bayar les, bayar ongkos Bus dll. Bukannya cukup yang ada malah nombok, untungnya aku masih ada uang di tabungan yang aku kumpulin selama Aupair dan itu cukup untuk nutupin kekurangan uang sampai aku nemu kerja tambahan.

Alhamdulillah, pertolongan dari Allah datangnya cepet dan kali itu aku dapet tiga atau empat kerja Putzen lainnya, jadi pemasukan setiap bulannya kembali stabil. Tapi kenapa harus Putzen? Karena bayaran per jamnya gede, kalau di restaurant saat itu (*2014) bayaran per jamnya sekitar 7,5 € - 8 € dan hanya bisa kerja pas akhir pekan. Jadi aku putusin mending Putzen aja bisa setiap hari kerja dan waktunya juga fleksibel terlebih kerjanya bisa dibawah tangan tapi kekurangannya yaitu aku ga ada waktu untuk istirahat!

Pagi-pagi bangun jam 6 terus Putzen dari setengah delapan sampai setengah sebelas atau jam sebelas, terus lanjut les jam 12 sampai dengan jam dua. Setelah les, aku Putzen lagi di Ferienwohnung* dan kadang baru selesai jam tujuh atau jam delapan malem. Kalau ga ada kerjaan lain aku baru bisa istirahat, itu juga ga lama karena harus belajar untuk ujian DSH* sama Test DaF*. Kalau ada yang minta aku Babysitting biasanya aku baru nyampe ke asrama jam setengah 12 malem, langsung belajar sampai aku gak sanggup lagi, biasanya sekitar jam 3 atau jam 4 pagi, tidur sebentar terus pagi-paginya harus udah bangun karena setengah delapan harus mulai Putzen lagi. 


Nelly, salah satu anak keluarga dimana aku Putzen.
Kadang-kadang aku diminta untuk babysitten Nelly dan kakaknya, Fina.

Lily, salah satu anak keluarga dimana aku Putzen.
Foto ini diambil saat aku babysitten Lily.
 

Pernah selama satu bulan aku kerja di toko Asia, kerjanya beres-beresin barang, rapiin barang di rak, ngelap-ngelap debu, jadi kasir dan lain sebagainya, tapi aku cuma tahan kerja disini satu bulan. Aku sakit waktu itu, ga tau sakit apa yang pasti aku kalau harus jongkok dan bungkukin badan itu gak bisa. Buat jalan kayak biasa juga itu kesulitan kalau gak megang ke tembok. Aku kali itu gak pergi ke dokter karena takut harus istirahat total, jadinya aku cuma baringan di kamar dan biasanya kalau aku baringan dua sampai tiga jam setelahnya aku bisa jalan lagi kayak biasa dan kesempatan kayak gini ini aku pakai lagi buat Putzen, walaupun setelahnya aku harus baringan terus. Aku sakit kayak gitu kurang lebih hampir dua bulan dan lumayan ngehambat pemasukan karena dalam sehari aku cuma bisa kerja ga lebih dari enam jam. 

Cuma sebulan aku kerja di toko Asia dan setelah itu aku minta izin untuk keluar. Pemiliknya gak nahan aku untuk keluar karena dia pernah liat aku pucat pasi dan hampir gak sadarkan diri di tokonya, sampai-sampai ada pembeli orang Malaysia yang beliin aku air sari kelapa buat aku minum 😀. Sesekali waktu aku Babysitting Marlene dan Julian di rumah Gastfamilie (FYI, Gastfamilie aku alias Babeh gak tinggal lagi di Schweich. Dia pindah ke Trier semenjak aku keluar dari rumah mereka).

Belum cukup sampai situ kegilaan aku, aku akhirnya nyoba untuk kerja di KFC dan KFC ini adanya di Saarbrücken pinggiran, jadi dari Trier ke KFC aku harus menghabiskan waktu 1,5 jam one way dan 3 jam kalau bolak balik. Kalau kerjanya sampai malem, aku berusaha untuk ngejar kereta jam 23.24 dari Saarbrücken dan sampai di Trier jam 00.32. Kalau kemaleman dan aku ketinggalan kereta, terpaksa aku harus nginep dirumah salah satu teman di Saarbrücken dan pakai kereta pagi ke Trier karena setengah delapan udah langsung Putzen lagi. 

Sebenernya pas tahun 2014 aku kerja Putzen udah ga gelap lagi di satu keluarga walaupun yang lainnya masih tetep gelap statusnya, tapi pas aku kerja di KFC sayangnya aku harus kerja gelap lagi karena jatah kerja yang bisa didaftarin ke departemen tenaga kerja itu cuma 450 € dan semua jatahnya dipake sama KFC.

Di postingan selanjutnya aku bakal jelasin tentang seputaran jatah kerja 450 € buat Student, tunggu kelanjutannya ya. Makasih udah baca :)


Keterangan:

- Ferienwohnung: Wohnung yang disewakan untuk liburan, biasanya penyewaan jangka pendek.

- DSH: Deutsche Sprachprüfung für den Hochschulzugang, bagi yang mau lanjut kuliah Bachelor dalam bahasa Jerman (sebelumnya udah pernah kuliah dan ga harus Studienkolleg) atau kuliah Master harus ambil tes ini dulu kalau mau masuk Universitas. Nilai kelulusannya yaitu minimal DSH 2 dan yang tertinggi DSH 3.

- Test DaF: Test Deutsch als Fremdsprache, sama fungsinya seperti DSH tapi beda dalam segi komposisi soal dan format penilaian. Dalam Test DaF gak ada soal Grammatik seperti yang ada di DSH. Nilai kelulusannya TDN 4 dan yang tertinggi TDN 5 dari setiap materi yang diujiankan.

Sunday 5 November 2017

Kerja Sambilan di Jerman (Part I): Pengalaman Kerja Gelap

Dulu aku sempet mikir kalau orang-orang yang kuliah di luar negeri itu pasti cuma orang yang banyak uangnya, secara 1 € di Jerman cuma bisa kebeli 1 bungkus ciki doang. Kalau di Indonesia nih, 1 € udah bisa puas jajan di mamang-mamang yang jualan depan SD, ya gak?

Tapi ternyata pikiran aku zaman dulu tuh salah banget, kenapa salah? Karena aku masih bertahan di Jerman sampai sekarang tanpa support dana satu rupiah pun dari orang tua. Lima tahun aku di Jerman dihabiskan dengan hampir dua tahun tinggal di Gastfamilie terhitung mulai September 2012 sampai dengan Juli 2014. Selama tinggal di Gastfamilie aku gak usah mikirin yang namanya sewa rumah, bayar listrik, bayar air, internet sama bayar uang jaminan sewa rumah, tapi setelah aku gak tinggal lagi disana aku harus mulai itung-itungan berapa pengeluaran aku setiap bulannya dan darimana aku dapetin uangnya buat bayar semua itu. AKU HARUS KERJA SAMBILAAAANNN!!!

Well, sebenernya sih dari semenjak Au-Pair aku udah mulai kerja di luar Gastfamilie, terhitung dari bulan Maret 2013. Sebenernya itu gak boleh, tapi karena Gastfamilie aku gak keberatan jadinya aku bisa kerja di keluarga lain dengan syarat tugas Au-Pair gak terlantar, deal! Akhirnya aku nyambi kerja mulai dari kerja jadi Babysitter sampai Putzfrau a.k.a. bersih-bersihin rumah orang atau pembantu? Exactly! Ternyata kerja beres-beres rumah itu berat, pantesan dibayarnya 10 € per jam, walaupun sebenernya beresin rumah orang jerman itu terbilang gampang, gak kayak beresin rumah kita di Indonesia. Masalahnya adalah rumah mereka itu gede-gede dan satu rumah itu harus beres dibersihin dalam waktu tiga sampai empat jam. Kebayang gak tuh beresin rumah tiga lantai cuma dalam waktu tiga sampai empat jam dan itu udah termasuk ngelap debu di perabotan, nyedot debu, ngepel, bersihin tangga, bersihin kamar mandi, kamar tidur dan segala hal? Sempet kepikiran kalau kerja di restaurant lebih enak, ternyata gak enak juga hahaha.

Dari keluarga inilah aku tahu kalau ternyata pembantu di Jerman itu harus didaftarin ke dinas ketenagakerjaan, walaupun kamu kerja disitu gak pake agen tapi kamu harus tetep didaftarin. Mulai dari situ aku panik karena kan Au-Pair gak boleh kerja ditempat lain selain di rumah Gastfamilie. Akhirnya aku ceritain kondisi aku yang sebenernya kalau aku Au-pair, gak boleh kerja di tempat lain tapi aku harus kerja karena aku butuh uang untuk lanjut sekolah di Jerman. Alhamdulillah, keluarga itu baik dan mereka bersedia aku tetep kerja disana walaupun sebagai tenaga kerja gelap! Akhirnya aku kerja disana seminggu 1x selama 3 jam. Berarti aku dapat ekstra 120 € per bulannya tapi itu belum cukup dan akhirnya aku cari lagi kerja Putzen lainnya dan dapet dua rumah masing-masing 3 jam setiap minggunya. Jadi pemasukanku terhitung bulan Maret 2013 itu 280 € dari Gastfamilie, 100 € masih dari Gastfamilie karena aku bersedia buat bersihin rumah mereka seminggu sekali dan sisanya 360 € dari kerja sambilan, totalnya 740 €. Cukup lah ya buat tabungan kalau masa-masa keemasan pas Au-Pair telah berakhir.

Kalau inget aku di Jerman kerjanya beres-beresin rumah orang itu kadang kebersit rasa bersalah sama orang tua, soalnya orang tua udah nyekolahin tinggi-tinggi sampai sarjana eh jatuhnya di rumah orang, mengang sikat WC. Tapi kayaknya itu lebih baik daripada aku harus minta uang tambahan dari mereka, iya gak sih?

Tuesday 13 June 2017

Aupair: Kenapa Kamu Harus Ikutan Aupair?

Beberapa waktu lalu ada salah satu pembaca blog aku yang menghubungi lewat email dan dia nanya kenapa aku memutuskan untuk Aupair. Well, kalau ditanya alasan kenapa harus Aupair atau kenapa pengen Aupair, pasti semua orang kasih jawaban beda-beda tergantung visi misi orang tersebut apa, tapi satu hal yang mendasar banget buat aku dan yang jadi alasan utama untuk Aupair kali itu adalah pengen ngasih yang namanya "peringatan" buat seseorang yang jadi pacar aku kali itu, kalau aku ga selalu pengen ketemu dia dan itu bukan cuma bohongan doang.

Lebay kan ya tapi itu emang bener. Siapa yang ga bete coba kalau terus dikira pengen terus-terusan ketemu cuma dengan nanya "Hari ini kamu mau dateng atau nggak?", ambigu sih emang tapi kan kalian tahu lah dulu masih pake SMS, WhatsApp, Line dan sejenisnya belum ada. Eh, ditanggepinnya malah seolah-olah aku selalu ingin ketemu, menyebalkan.

Alesan lain untuk aku Aupair juga dilatarbelakangi dengan nulis skripsi. Aku pernah kuliah di jurusan bahasa Jerman, tapi aku masuk jurusan ini karena murni salah jurusan, well aku salah ngisi kode jurusan di formulir pendaftaran. Tadinya aku ingin kuliah bahasa Jepang eh malah bahasa Jerman yang aku isi, jadinya selama kuliah aku nggak semangat dan baru bener-bener belajar bahasa Jerman waktu nulis skripsi karena dosen pembimbingnya galak dan mau nggak mau aku harus berkutat dengan buku-buku bahasa Jerman yang saking tebelnya sambe bisa dipake buat ganjel pintu. Tapi jujur, setiap orang alasannya bisa macem-macem, tapi jika kamu udah memutuskan untuk melakukan sesuatu hal, nggak peduli alesannya apa kamu harus menjalani hal tersebut dengan sebaik-baiknya sampai akhir, nggak terkecuali. Sempet nyesel juga nggak belajar bahasa Jerman sungguh-sungguh waktu kuliah, tapi alhamdulillah aku dikasih kesempatan untuk belajar langsung di negaranya.

Sekarang kerasa banget manfaatnya Aupair, tahu kenapa?
1. Menguasai bahasa asing lebih cepat

Waktu pertama aku dateng ke Jerman dan Aupair, aku bener-bener bingung dengan bahasanya. Komunikasi pertama memang bahasa Inggris, tapi bahasa Inggris aku juga ga jago, jadinya ya komunikasi pake bahasa campuran, bahasa Inggris, campur bahasa Jerman, campur bahasa tubuh. Alhamdulillah aku bisa cas cis cus ngomong bahasa Jerman dalam hitungan bulan karena mau nggak mau bahasanya harus dipakai setiap hari.

2. Jago masak

Waktu sampai di Jerman aku sama sekali ga bisa masak, masih suka ketuker kalau masukin gula ke kopi yang dimasukin malah micin. Pas Aupair, aku ga dipaksa buat masak tapi lama-lama makan roti, pasta, pizza itu bisa bikin kamu kangen makanan Indonesia yang kaya akan rempah-rempah. Orang bilang tinggal beli ke restaurant Indonesia, tapi percaya deh masakan yang kamu beli disana itu nggak seenak kalau kamu bikin sendiri, feelingnya beda.

3. Jadi penyabar

Gimana ga sabar coba kalau tiap hari harus ngadepin anak Jerman yang aktifnya nggak ketulungan. Kadang anak-anak Jerman bisa lebih nakal dari anak-anak Indonesia yang nakal, kebayang kan kenapa kamu bisa jadi penyabar?

4. Jago beres-beres

Banyak Aupair yang juga kerja sambilan (secara gelap) jadi asisten rumah tangga demi nambah pundi-pundi tabungan buat dana jalan-jalan. Jadi, pilihan satu-satunya yaitu kerja sambilan jadi Putzfrau yang datang ke rumah-rumah setiap satu minggu sekali dengan jam kerja 2 sampe 4 jam sekali kerja. Untungnya rumah orang Jerman bersih-bersih, tapi ada juga yang ngga bersih dan hobinya bikin berantakan. Kalau rumahnya super berantakan, otak musti muter cepet, bikin strategi beres-beres yang super cepat tapi tetep bersih karena ya itu tadi harus selesai sesuai dengan jam yang udah ditentukan.

5. Jago bikin rencana jalan-jalan

Aupair kan liburnya cuma sabtu sama minggu, kadang cuma minggu aja yang libur dan sabtunya setengah hari, jadi kalau mau jalan-jalan itu harus mateng perencanaannya. Semakin mateng perencanaannya, semakin minim budget yang dikeluarkan. Ga percaya? Aku pernah jalan-jalan ke Swiss, Milan sama Venezia dengan total pengeluaran 175 € yang udah termasuk biaya transport (kereta, mobil tumpangan dan pesawat), penginapan dan makan. 

6. Punya kesempatan untuk lanjut kuliah di Jerman

Semua orang pasti punya kesempatan untuk kuliah di Jerman, tapi kalau ga punya biayanya gimana? Apalagi kuliah di Jerman butuh jaminan di rekening sebanyak 8000 €, kan banyak banget ya. Kalau awalnya datang ke Jerman dengan Aupair, kamu nggak perlu punya uang sebanyak itu karena Aupair biaya hidupnya ditanggung oleh keluarga yang menerima disini. Selama Aupair, kamu bisa tabungin uang yang kamu dapet untuk biaya kuliah, emang sih uang yang terkumpul jauh dari 8000 € tapi hey kamu harus bangga karena itu uang hasil keringat kamu sendiri. Apalagi kalau misalkan selama Aupair kamu dapet pemasukan tambahan dari Gastfamilie kamu kan itu lumayan banget. Kalau kamu baik terhadap Gastfamilie kamu, kamu bisa jadi termasuk ke dalam orang yang beruntung kalau ternyata mereka mau jadi sponsor kamu untuk kuliah di Jerman dengan memberi kamu Verpflichtungserklärung.

Masih banyak lagi alesan-alesan lainnya kenapa kamu harus Aupair, nanti deh aku sambung di postingan selanjutnya ya :)


Annerkennung Jurusan dan Universitas di Anabin

Minggu lalu aku dapet e-mail masuk dari salah seorang yang ga sengaja mampir ke blog ini, Hana namanya. Katanya saat ini dia sedang kuliah S1 dan pengen lanjutin kuliah S2-nya di Jerman, hanya saja dia ada sedikit problem yaitu hanya jurusan S1 dia saja yang terakreditasi di Anabin, sedangkan Universitas dimana dia kuliah S1 saat ini tidak ada di dalam list Anabin. Gini kurang lebih isi e-mailnya:


Saya mahasiswi S1 dan akan melanjutkan studi S2 di jerman (entah tahun berapa). Namun, saya bingung dengan urusan ANABIN. Jurusan saya sudah terakreditasi oleh ANABIN (Biologi) tapi universitas saya tidak ada ada di website. Pertanyaan saya adalah :
1. Apakah tidak apa-apa apabila saya mengurus ANABIN sekarang walaupun S2 saya, anggap saja 3 atau 4 tahun lagi ?
2. Langkah-langkah apa saja yang harus saya lakukan agar universitas saya sekarang terdaftar di ANABIN?


Pastinya bukan cuma Hana yang punya problem seperti ini, beberapa tahun lalu sahabat aku juga mengalami hal yang sama. Waktu Hana ngirim e-mail, aku langsung ngehubungi sahabatku ini dan nanya segala prosesnya, ternyata dia ini nggak jadi ngurus-ngurus Annerkennung ke Anabin karena jadinya daftar ke Universitas secara langsung, tidak melalui Uni-Assist. Beruntung, adik sahabatku ini ternyata daftar melalui Uni-Assist dan mau nggak mau harus mengurus Annerkennung ke Anabin. 

Ini langkah-langkah yang harus ditempuh kalau ternyata jurusan atau Universitas kamu di Indonesia tidak ada di dalam list Anabin (Thanks to Ijey yang udah ngasih info ini):
1. Kalian perlu tiga dokumen untuk bisa Annerkennung di Anabin, yaitu surat dari Universitas yang menerangkan bahwa jurusan telah terakreditasi oleh BAN-PT.
2. Kalian juga perlu surat dari BAN-PT yang menerangkan bahwa jurusan telah diakreditasi oleh pihak BAN-PT.
3. Sertifikat akreditasi dari BAN-PT, jadi keseluruhannya ada tiga dokumen dengan dua dokumen sebelumnya.
4. Surat-surat tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Jerman.
5. Lalu surat-surat tersebut dikirim ke pihak Anabin.

Setelah semua dokumen yang dibutuhkan dikirim ke pihak Anabin, maka Anabin akan update list-nya dengan mencantumkan jurusan dan Universitas kalian. Mudah bukan? Tapi Ijey bilang prosesnya cukup lama, apalagi kalau mau bikin surat ke BAN-PT harus datang ke kantornya langsung. Jadi sebaiknya segala kelengkapannya diurus jauh-jauh hari supaya masih ada waktu untuk melengkapi kelengkapan dokumennya kalau ada dokumen yang masih kurang.

Jadi, semangat ya buat ya mau lanjut kuliah di Jerman, nggak usah khawatir lagi kalau ternyata jurusan dan Universitasnya belum terdaftar di Anabin, kan sekarang udah tahu gimana caranya 😇  

Saturday 13 May 2017

Kerja sambil Kuliah di Jerman

Kemaren-kemaren lagi seru banget nongkrongin grup Facebooknya PPI Jerman, soalnya ada mahasiswa Halu(sinasi) dari Mannheim yang bikin ricuh di grup. Masalahnya nih anak nilainya buruk, IPK nya katanya 3,2 tapi bukan IPK Indonesia loh ya, yang kalau dikonversi ke IPK Indonesia itu jadinya 1,sekian deh. Ga ricuh-ricuh gimana sih sebenernya, justru malah kocak jadinya kok udah kuliah di Jerman mentalnya masiiihhh aja bodong, hahahaha.

Si Halu ini dengan pedenya bilang kalau ga ada anak S2 atau S3 yang kerjanya di bidang hotelier, apalagi nyambi jadi housekeeping di hotel. Dalam hati nanya, ini anak selama kuliah ga pernah gaul apa ya? Kerjanya ngapain aja sampe bisa berasumsi ga ada mahasiswa S2 atau S3 yang kerja di hotel. Lah aku apa kabar yang kerjanya jadi babu? Selama itu halal, cepet dapet duitnya, kenapa nggak? Toh duit nggak ada baunya, iya nggak?

Emang fenomena nyari kerja sambilan di Jerman itu gampang-gampang susah. Gampang kalau pas nyari langsung nemu, tapi ada juga pengalaman temen di Mainz yang dia pengen kerja apapun dia lamar, mulai dari kerja di McDonalds sampai kerja jadi asisten rumah tangga juga dia nggak masalah. Tapi sampe berbulan-bulan itu nggak ada panggilan dari keduanya, dari McD nggak ada, jadi Putzfrau juga nggak dipanggil.

Kebanyakan mahasiswa di Jerman kerja di bidang Gastronomie (Restaurant atau Cafe), entah itu jadi service, kasir, kitchen helper atau dishwasher. Lainnya banyak juga yang kerja di hotel jadi bagian resepsionis, kerja di bagian dapur hotel atau kebanyakannya jadi room boy atau room girl. Makanya heran sama si Halu yang bikin statement kayak begitu 😂

Waktu masih jadi Aupair, sama babeh aku dibolehin kerja tambahan, tapi kan Aupair nggak boleh kerja di tempat lain ya, jadinya kali itu aku kerja tambahannya di bawah tangan, alias kerja gelap jadi Putzfrau. Bayarannya lumayan 10 € per jam tapi tiap kerja tuh bawaannya deg-degan, takut ketauan terus diciduk sama polisi. Kalau kena ciduk, aku harus bayar denda dan pasti dapet masalah di visa nantinya. Syukur alhamdulillah sekarang udah nggak kerja gelap lagi, walaupun jadi Putzfrau nya masih, hehehehe, bedanya sekarang aku kerjanya di daftarin ke dinas tenaga kerja (Bundesagentur für Arbeit), jadi nggak perlu takut bakal diciduk atau dipulangin ke Indonesia.

Pernah juga waktu kerja di KFC, jadinya aku harus abmelden dari kerjaan Putzen karena katanya ribet kalau harus dua kerjaan, walaupun sebenernya bisa. Mahasiswa bisa kerja selama kuliah asal nggak melebihi izin yang dikasih sama Ausländerbehörde yang ditulis di Zusatzblatt yang isinya "Die Ausübung einer Beschäftigung, die insgesamt 120 Tage oder 240 halbe Tage im Jahr nicht überschreiten darf". Kalau pusing sama itung-itungan yang 120 hari atau 240 setengah hari, Arbeitgeber juga ngerti kalau mereka baca izin kerjanya. Enak kerjanya di Gastronomie itu bisa dapet gaji banyak lebih dari 500 atau hampir 1000 kalau pas liburan, cuma masalahnya itu kerja disana nggak boleh pake kerudung, jadi selama kerja harus dilepas. 

Berat emang kerja sambil kuliah, tapi mau gimana lagi, tetep harus semangat 😊

Saturday 29 April 2017

Sekolah (Baca: Bertahan) di Jerman itu Susah!!!

Beberapa hari lalu sempet telpon-telponan sama si sulung a.k.a kakak perempuan aku hahaha. Dia nanya pertanyaan yang paling nggak mau aku dengar "Mama nanya kapan kamu lulus kuliah?". Beugghhh...udah pengen jejeritan ngejelasin ini dan itu, ngeles pake jurus A to Z tapi nggak akan pernah bisa mempan, karena yang dilawan ini mama. Mama itu kalau di game Big Boss nya lah, yang susah banget buat dikalahinnya walau semua jari kita udah dipake semuanya buat mencet joystick, tapi tetep aja darah berkurang darah kita, bukan darah si Boss. Yup, itu tuh fenomenanya kalau debat sama mama 😢

Si sulung malah nambah ricuh suasana, bukannya menenangkan eh dia malah bilang "Iya, kuliah aku juga udah mau kelar nih, Agustus wisuda euy. Lah kamu kapan?". Like mother, like daughter. Lah aku ini siapa ya, kok ga sama? Jangan-jangan... ah sudah hempaskanlah ke tanah, biar mereka ngomong apa juga, tapi buat yang pernah tinggal disini apa pun itu tujuannya mau itu Aupair, kuliah Bachelor, Master, Doktor, bahkan buat yang dateng kesini demi nyambung hidup atau nyambung jodoh juga semua pasti pernah ngerasain kalau hidup disini itu berat euy.

Bayangkan aja, aku yang baru belajar bahasa Jerman bener-bener semenjak datang ke Jerman, dituntut untuk memiliki kemampuan belajar yang sama dengan mahasiswa yang emang dia lahir dan seumur hidupnya sekolah disini. Baik itu dari segi keaktivan di kelas maupun dari segi berbahasa dalam diskusi di kelas. Aku yang cuma fasih ngomongin kalimat "ich möchte essen" sih kebanyakan diem aja selama diskusi, dengerin mahasiswa lain ngomong sambil diserap, kalimat apa aja yang mereka omongin dan barangkali ada kosakata baru yang bisa nambah perbendaharaan kata juga itu udah lumayan, biar bisa baca koran gosip dalam bahasa Jerman 😁

Giliran dapat tugas untuk bikin karya tulis, sistem penulisannya juga beda, tata cara penyampaian argumennya juga beda apalagi lama waktu pengerjaannya. Beruntung kalian yang nulis skripsi selama satu semester, dalam bahasa Indonesia plus dikasih dosen yang bawel ngejar-ngejar kalian buat bimbingan, disini semua itu ga ada. Mahasiswa yang datang ke dosen, itu juga ga bisa kita nungguin tiap hari di kampus dan neror doses buat revisi tugas, ga bisa. Dosen disini ada jadwalnya kalau mau ketemu, diluar jadwal itu kita ga bisa bimbingan sama beliau. Kalau bimbingan juga, dosen ga akan ngoreksi kesalahan penulisan, kelupaan tanda baca, hal-hal remeh temeh kayak begitu dosen disini ga periksa dan lagi tugas karya tulis sejenis skripsi itu harus diselesaikan dalam kurun waktu empat minggu. "Yaelah, empat minggu sih lama", ya kali kalau setiap hari kerjanya ngerjain tugas. Kan kasian buat mereka yang nggak dibiayain sama orang tuanya dan harus kerja banyak, waktu belajarnya berkurang, belum kalau cape, belum kalau males menyerang.

Banyak juga yang bilang kalau musim ujian itu mahasiswa jadi anti sosial, iya itu bener, soalnya gauuulll melulu sama buku, ngerem terus di perpustakaan. Susahnya yang kalian hadapi di Indonesia itu tidak sama dengan susah yang dihadapi mahasiswa di Jerman. Adek ipar aku yang suami bilang dia rajin banget belajarnya, giliran sekarang kuliah di luar Indonesia (dia kuliah di Manchester) juga bilang "Ampun, bener-bener bikin stress ya, pas dulu kuliah juga ga pernah stress kayak begini", itu jadi bukti bahwa kuliah di luar Indonesia itu pressurenya tinggi banget, baik dari segi berbahasa maupun kita yang dituntut untuk mengubah kebiasaan belajar yang dibawa dari masa-masa belajar di Indonesia.

Aku nulis begini supaya kalian yang mau kuliah disini mempersiapkan mental kalian dengan matang. Sistem pendidikan Indonesia itu mematikan kita, kalau kalian mau tahu, kayak gini contohnya:
  1. Kebiasaan-kebiasaan untuk nggak nanya ke guru atau dosen, karena dosen banyak yang tersinggung kalau mahasiswanya nanya dan lama-lama bikin mahasiswa takut buat nanya, disini bisa buat kamu nggak dapat nilai selama kuliah kalau syarat penilaiannya aktiv di kelas. Pasti aja tiap mau ngomong atau nanya selalu ngerasa takut.
  2. Setiap kali persentasi ke depan kelas suka diketawain cuma karena salah atau nggak bisa jawab pertanyaan, yang ujung-ujungnya bikin malu dan ga percaya diri buat tampil lagi. Hal itu bisa bikin kita ga dapat nilai, karena disini mahasiswa dituntut untuk bisa menjelaskan materi apa yang dibacanya. Kalau salah jawab atau nggak bisa jawab gimana? Kalem, orang Jerman ga akan pernah menertawakan kamu kalau kamu nggak bisa jawab atau salah jawab, justru mereka bakal bantu jawab kalau emang mereka tahu jawabannya.
  3. Berlagak tahu padahal nggak tahu. Ini nih yang paling sering, sotoy sotoyan, karena malu kalau nyebut nggak bisa. Di Jerman orang nggak tahu itu wajar, karena apa? Karena namanya juga manusia. Dosen kalau nggak tahu juga mereka akan jawab mereka nggak tahu dan nggak segan-segan nanya mahasiswanya barangkali ada diantara mahasiswa yang tahu lebih baik daripada dosennya.
Itu lah contoh-contoh kebiasaan yang harus dicoba dihilangkan, karena kalau tetep begitu nggak akan maju-maju kayaknya.

Buat yang dapet bantuan dana dari orang tua, selamat kalian bisa belajar dengan fokus, tapi nggak jarang ada juga yang ngerasa terbebani karena biaya dari orang tua makanya harus cepet-cepet lulusnya, padahal disini kita juga kan harus refreshing. Sedangkan yang kuliah dengan biaya sendiri, sering juga kuliah keteteran karena lebih sibuk mikirin Rechnung takut nggak kebayar. Siapapun pasti pernah ngerasa belajar disini itu berat, jadi tetep semangat dan hentikan nanya "Kapan sih lo kelar kuliahnya? Kok nggak kelar-kelar?". Always put yourself in the other's shoes. If you feel that it hurts you, it probably hurts another person too :)

Finanznachweis: Bukti Finansial Bagi yang Mau Kuliah di Jerman

Harusnya hari ini aku ikut pengajian, apa daya perut sakit lagi jadinya ngerem aja di rumah. Nyuci piring udah, makan udah, rebahan bosen, gerak sakit, baca-baca literatur sekolah juga udah, ngapain lagi ya?

Akhirnya iseng-iseng ngerangkum informasi tentang Finanznachweis atau bukti finansial yang banyak banget orang tanyain di grup bikinan temenku. Padahal aku belum nanya yang empunya grup, tapi aku main bikin aja itu dokumen, maafkan ya :(

Abisannya banyak banget yang nanya mengenai uang 8040 Euro yang harus ada di rekening. Masih mending kalau yang nanya satu orang, lah ini banyak dan berkali-kali, lama-lama kan yang jawab males ya? Kalau males jawab ntar jadinya kayak grup sebelah, udah ribuan anggotanya eh ga keurus gara-gara banyak banget orang nanya hal yang sama dan males juga jawabnya lama-lama, ujung-ujungnya jawabannya "tanya Google" atau ga dijawab sama sekali. Lah orang kalau tanya Google kan ngapain ya bikin grup? Grup kan dibikin biar kita semua bisa sharing.

Gimana ya caranya masukin pdf ke blog? hahahaha karena tuan suami lagi kerja, jadi isi dokumennya aku copy paste aja disini ya. Gini isinya:



Katanya kuliah di Jerman butuh duit 8040 Euro ya? Kok banyak amat, katanya kuliah di Jerman gratis, lantas itu duit 8040 Euro buat apaan? Ada ga sih caranya biar tetep bisa kuliah di Jerman tanpa pake duit 8040 Euro di rekening?.

Saking banyaknya yang nanya kayak gini, maka izinkan aku ya admin grup buat bikin dokumen ini, biar yang mau nanya-nanya tentang 8040 Euro atau Verpflichtungserklärung bisa baca langsung buka dokumen ini.

Q: Apakah studi di Jerman gratis?
A: Ya dan tidak, karena di beberapa Bundesland sudah ada Universitas yang kembali menerapkan Studiengebühren kepada mahasiswanya.

Q: Ada juga Universitas yang mengharuskan mahasiswa bayar biaya sekitar 200 300 Euro setiap semesterannya, itu biaya apa? Itu Studiengebühr kah?
A: Itu disebut dengan Semesterbeitrag yaitu biaya yang harus dibayar oleh mahasiswa setiap semesternya. Biaya tersebut mencakup Studierendenwerksbeitrag (dialokasikan untuk makanan di Mensa, Studentenwohnheim, dll), Studierendenschaftsbeitrag, Semesterticket (biar kamu bisa naik bus gratis dan ga lagi jadi penumpang gelap :p) dan Studienausweis.

Q: Terus kalau biaya semesterannya murah begitu, kenapa yang diminta malah 8040 Euro? Itu banyak loh, uang semua, ga mix pake daun, jadi 8040 Euro itu untuk apa?
A: Uang 8040 Euro itu untuk Lebenshaltungskosten kamu selama satu tahun di Jerman, kayak bayar sewa kamar, pulsa, makan, jalan-jalan, internet, dll sebulannya kurang lebih 670, malah menurut DAAD buat Lebenshaltungskosten mahasiswa sekarang jatohnya jadi 794 Euro per bulannya.

Quelle: www.daad.de

Q: 8040 Euro kann banyak tuh, bisa ga kalau uangnya yang ada di rekening kita itu setengahnya atau sepertiganya dari 8040 Euro?
A: Ya dan tidak, tergantung kebijakan Ausländerbehörde masing-masing, jadi sebaiknya ditanyakan langsung ke Ausländerbehörde.

Q: Pernah denger yang namanya Verpflichtungserklärung, itu apa sih?
A: Verpflichtungserklärung adalah surat pernyataan yang memiliki kekuatan hukum yang digunakan sebagai pernyataan bahwa penjamin bertanggungjawab sepenuhnya terhadap orang yang dijamin selama orang yang dijamin melakukan suatu kegiatan (z.B. Sprachkurs, Studienkolleg, Studium, usw.) sampai kegiatan tersebut selesai.

Q: Kalau kegiatannya terputus ditengah jalan, berarti Verpflichtungserklärung-nya tidak berlaku?
A: Tidak. Jadi harus bikin Verpflichtungserklärung yang baru.

Q: Katanya kalau ada Verpflichtungserklärung ga usah ada 8040 euro di rekening?
A: Iya dan tidak. Iya karena penjamin menjamin kelangsungan hidup orang yang dijamin selama studi misalnya. Jadi penjamin harus membiayai segala jenis tagihannya, seperti sewa rumah, uang semesteran, pulsa dll.

Q: Kalau misalkan penjamin hanya mau memberi Verpflichtungserklärung doang, tapi uangnya kita yang nyari sendiri, itu bisa?
A: Bisa saja, selama pendapatan sebulan memenuhi kebutuhan sehari-hari (sewa rumah ga nunggak, asuransi kebayar, dll).

Q: Emang kalua sampai nunggak dan dapat Mahnung kenapa?
A: Kalau sampai kamu dapat Verpflichtungserklärung dari seseorang dan kamu terjerat kasus hukum seperti ngutang (termasuk utang GEZ) dan dapat Mahnung, yang kena masalah bukan hanya kamu sebagai tersangka pengutang, tapi juga penjamin yang memberi kamu Verpflichtungserklärung akan kena juga dampaknya. Makanya untuk dapet Verpflichtungserklärung itu sulit, sulit buat dapet kepercayaannya dari penjamin.

Q: Tapi ada nih kenalan yang mau bikinin Verpflichtungserklärung, cuma dia ga tahu gimana caranya, gimana dong?
A: Kalau kasusnya kayak gitu, kamu dan penjamin tinggal pergi ke Ausländerbehörde dimana kalian tinggal (kalau kamu dan penjamin kamu beda tempat tinggalnya maka Verpflichtungserklärung dibuat di kota tempat penjamin tinggal), bawa Reisepass dan Ausweis dari penjamin dan yang dijamin, bukti pendapatan selama 3 bulan terakhir, isi formulir untuk Verpflichtungserklärung (disediakan Ausländerbehörde) dan bayar biayanya sebesar 25,- Euro.

Q: Kalau yang bikin Verpflichtungserklärung-nya orang tua yang tinggal di Indonesia bisa nggak?
A: Iya dan tidak. Tergantung Ausländerbehörde dimana kamu tinggal, jadi sebaiknya konsultasikan dulu dengan Ausländerbehörde setempat.

Q: Ausländerbehörde bilang aku boleh buat Verpflichtungserklärung dari orang tua di Indonesia, gimana kalau gitu caranya?
A: Orang tua kamu harus datang ke notaris, bikin surat pernyataan di atas materai dan di stempel oleh notaris yang isinya menyatakan bahwa orang tua kamu bersedia dan sanggup untuk membiayai finansial kamu selama studi di Jerman dengan biaya bulanan sejumlah berapa. Disurat tersebut harus tercantum nama jelas orang tua kamu, pekerjaannya, nomor identitas diri juga nggak lupa nama kamu yang merupakan orang yang dijamin. Kalau udah selesai, dokumen tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, beserta dengan slip gaji 3 bulan terakhir. Slip gaji bisa diterjemahkan bisa juga nggak, secara itu nominal uang dan semua orang juga ngerti kalau urusannya uang tanpa harus diterjemahin 😊 kalau udah gitu, tinggal kamu lampirin pas kamu ke Ausländerbehörde, jangan lupa Kontoauszug 3 bulan terakhir biar ada buktinya bahwa orang tua bener-bener ngirim uangnya.

Q: Rekeningnya bisa rekening biasa atau harus deposito?
A: Ada yang pakai rekening biasa tapi pihak Ausländerbehörde mengharuskan deposito sebagai syarat. Jadi si rekening tabungannya yang pakai Sperrvermerk (biar ga bisa diambil setiap saat mungkin ya).

Gitu isi dokumennya. Abisnya banyak banget yang nanya, yaiya lah semua orang kalau masalah uang pasti nanya detail banget dan 8040 Euro itu kan buanyaaaaakkk, jadi wajar kalau mereka nanya berkali-kali. 





--Viel Glück--



Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...