Monday 6 February 2017

Lika-liku Menuju Jerman

Postingan ini berasal dari postinganku di blog microwife.wordpress.com

Sudah empat tahun aku berada di Jerman: Satu tahun aku habiskan dengan menjadi Aupair di keluarga angkatku yang alhamdulillah masih berhubungan baik sampai sekarang, dua tahun aku habiskan untuk belajar bahasa Jerman (yang susahnya amit-amit) dengan intensif dan satu tahun terakhir aku menjalani nasibku menjadi seorang mahasiswa Universitas Trier jurusan Erziehungswissenschaften a.k.a. jurusan ilmu pendidikan.
Aku ke Jerman bukan karena aku anak orang kaya atau aku pinter nggak ketulungan sehingga aku dapat beasiswa, bukan. Aku ke Jerman karena aku saat itu mau menjauhi mantan pacarku yang selalu ngerasa kalau aku terlalu menyita waktunya dengan minta ketemu tiap hari, padahal mah nggak sama sekali. Wajar kali ya kalau nanya dia mau datang ke tempatku atau nggak, supaya aku bisa membuat rencana lebih baik. Tapi dasar dia kepedean, aku nanya begitu dia nyangka aku ingin ketemu, padahal nggak. Yaudah, aku putusin untuk menjauhi dia dengan pergi ke Jerman, biar nyaho kan, giliran dia yang mau ketemu pan susah.
Selain itu, dulu aku sempat kuliah di salah satu universitas di Bandung jurusan Pendidikan Bahasa Jerman. Jangan bayangin kalau aku ke Jerman sudah fasih cas cis cus bahsa Jerman, nggak sama sekali. Aku bahkan baru mulai menyukai bahasa Jerman di semester akhir, pada masa-masa menulis skripsi, itu juga karena aku dapet dosen pembimbing yang nyeremin abis, killer, perfeksionis, hhhhhh... petaka kalau kali itu aku mikirnya. Tapi sekarang justru aku bersyukur sekali sudah dibimbing oleh beliau, mungkin kalau dosen pembimbingnya bukan beliau aku nggak akan kepikiran untuk belajar bahasa Jerman lebih tekun lagi.
Jujur aku setengah hati kuliah di jurusan bahasa Jerman, soalnya saat itu yang aku inginkan kuliah di jurusan bahasa Jepang. Tapi karena sepupu yang waktu itu mengantar aku daftar kuliah memburu-buru aku untuk cepat menyerahkan aplikasi pendaftaran, akhirnya aku mengisi kode bahasa Jerman sedangkan mataku membaca kode bahasa Jepang. Fix salah jurusan. Tapi diakhir-akhir aku malah suka bahasa Jerman, mulai ngerjain soal-soal dan tugas semester satu sampai semester terakhir dalam waktu dua minggu. Cuma aku nggak mungkin lagi belajar bahasa Jerman di kampus, aku juga nggak mau les bahasa Jerman selepas kuliah, sampai akhirnya kepikiran kenapa nggak belajar langsung di negaranya?
Aku yang bukan anak orang kaya, langsung nyari informasi gimana caranya ke Jerman dengan modal uang pas-pasan. Setahu aku, dari angkatanku ada beberapa orang mahasiswa yang saat itu berangkat ke Jerman. Aku juga tahu kalau mereka yang saat itu berangkat ke Jerman bukan anak orang kaya, tapi intinya mereka bisa ke Jerman, gimana caranya? Aku mulai tanya-tanya ke teman-teman, ada yang ngasih informasi tapi setengah-setengah, mungkin karena mereka ingin bantu tapi mereka juga nggak tahu tepatnya gimana, tapi ada juga yang jelas-jelas tahu informasinya dengan jelas tapi menutup informasi sama sekali, yasudahlah nasib harus nyari sendiri.
Berbekal kuota modem yang baru di isi, aku mencari informasi mengenai cara ke Jerman yang ternyata di internet banyak banget informasi mengenai ini dan aku mulai tahu dari situ bahwa temanku yang ke Jerman saat itu untuk menjadi Aupair. Aku kumpulkan segala informasi mengenai Aupair, apa persyaratannya, berapa biayanya sampai bagaimana caranya untuk mendapatkan keluarga yang bersedia menjadi host family selama satu tahun, semuanya aku kerjakan sendiri.
Di saat ada keluarga yang sudah bersedia menjadikanku Aupair di tempatnya, masalah justru aku dapat dari keluargaku, mereka nggak mendukungku sama sekali untuk ke Jerman menjadi Aupair. Kuliah lama dan mahal hanya untuk jadi TKW di Jerman, memalukan bo, yes wajar kalau keluargaku sampai berpikiran begitu tapi mau gimana lagi, cuma itu salah satunya cara supaya aku bisa belajar bahasa Jerman langsung di negaranya. Waktu mencari-cari host family yang cocok dengan kriteriaku juga itu nggak mudah, karena belum tentu juga aku memenuhi kriteria mereka. Kalau pun kriterianya cocok, salah satu kendala yang menjadikan alasan aku ditolak banyak keluarga saat itu yaitu kerudung dan Islam. Lagi-lagi wajar kalau para host family itu agak was-was untuk memiliki Aupair beragama Islam yang berkerudung, secara image Islam saat itu nggak begitu baik dikalangan dunia internasional. Sampai akhirnya aku menemukan host family aku, mereka mau menerima Aupair yang Islam dan berkerudung, tapi itu juga nggak lantas aku langsung diterima jadi Aupairnya. Aku sempet ditolak oleh mereka karena aku kandidat yang ketiga, tapi karena aku terlanjur menambahkan keluarga itu di Facebook sebagai teman, akhirnya kami pun kembali menjalin kontak dan aku kembali ditanya apa aku masih tertarik untuk menjadi Aupair di keluarga mereka atau nggak, karena kandidat Aupair yang pertama dan keduanya menolak tawaran untuk jadi Aupair di keluarga tersebut karena kandidat yang pertama akan meneruskan studi di negara asalnya dan kandidat yang kedua diterima kerja jadi pramugari di salah satu maskapai nasional di negaranya.
Setelah deal menjadi Aupair di keluarga tersebut, kontrak kerja pun dikirimkan, melalui pos dan juga melalui email. Isi kontrak kerjanya yaitu kegiatan apa saja yang harus aku lakukan selama menjadi Aupair di keluarga tersebut. Alhamdulillah tugasnya tidak begitu berat karena anak yang harus aku dampingi umurnya sudah delapan tahun dan adiknya yang laki-laki berkebutuhan khusus dan umurnya enam tahun saat itu. Selain kontrak kerja, host family juga mengirimkan lampiran surat keterangan bahwa aku terdaftar memiliki asuransi kesehatan yang ternyata kepemilikan asuransi kesehatan di Jerman itu wajib hukumnya.
Aku yang saat itu belum memiliki passpor, langsung sibuk mempersiapkan dokumen kelengkapan untuk mengajukan pembuatan passpor. Ternyata nama di KTP dan Akte Kelahiran milikku berbeda dan itu harus disamakan terlebih dahulu, baru aku bisa membuat passpor. Selain itu, aku juga harus memiliki sertifikat kemampuan bahasa Jerman minimal level dasar (A1), jadi saat itu juga aku mendaftarkan diri untuk ikut ujian A1 di Goethe Institut Bandung. A1 saja ujian yang aku ikuti kali itu, karena aku takut nggak lulus kalau sok-sokan ikut ujian yang levelnya di atas itu. Untuk pembuatan visa ternyata harus membuat janji dulu dengan kedutaan Jerman di Jakarta, aku pikir membuat janjinya harus datang kesana tapi ternyata lewat internet. Tinggal masuk ke situs kedutaan Jerman di Indonesia lalu pilih appointment untuk pengajuan visa.
Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Passpor selesai dibuat, ujian A1 juga lulus dengan nilai yang memuaskan (malu dong kalau nilainya jelek apalagi kalau sampai nggak lulus), visa juga selesai dalam waktu tiga minggu. Akhirnya tanggal 15 September 2012 aku berangkat ke Jerman diiringi isak tangis keluarga, karena aku belum pernah pergi sendirian sampai sejauh itu, di Indonesia aja aku belum kemana-mana, ke Jakarta aja baru 3 kali, parah kan? Jadi wajar kalau aku ke Jerman kali itu keluarga yang mengantar pada nangis, apalagi mama. Tapi sabar aja, toh setahun itu nggak lama. Ternyata sampai tahun keempat aku masih juga ada di Jerman, alhamdulillah. Semuanya yang terjadi padaku seperti kebetulan-kebetulan yang tersusun dengan sangat baik. But, in the end I have to say, that life is not merely a series of meaningless accidents or coincidences. But rather, it's a tapestry of events that culminate in any exquisite, sublime plan. Notice how every major events in your life somehow leads up to the next and connected.

No comments:

Post a Comment

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...