Friday 26 December 2014

Natalan: Merayakan atau tidak?!?

Banyak postingan di internet berseliweran pra-natal yang memperdebatkan hukum mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim kepada mereka yang merayakan. Sebagian ada yang bilang boleh, sebagian lagi dengan keras dan tegas mengatakan tidak. Lantas bagaimana gw yang selama dua tahun terakhir ini selalu melewati natal bersama dengan mereka yang merayakan?

Selasa kemarin gw ditanya Stephi, apa ga aneh buat gw tidak merayakan natal disaat orang-orang kebanyakan merayakannya. Ya gw jawab, cukup aneh sebenernya tapi toh gw ga merayakan dan teman gw juga ada yang ga merayakan, jadi gw masih bisa melewatinya dengan tidak merasa "aneh". Tapi walaupun gw ga merayakan natal, gw tetep dapet kado khas natal, kayak kue kering, coklat, buku, voucher bahkan uang. Gw ga anggap ini sebagai kristenisasi, karena agama dan keimanan buat gw tidak bisa dipaksakan. Gw anggap ini bagian dari tahaddu, tahabbu yang artinya saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling menyayangi.

Selain hadiah, gw juga dapet ucapan natal dari sebagian kenalan gw yang kasih gw hadiah. Lalu reaksi gw gimana? Simple, gw jawab makasih, tapi gw ga merayakan natal, have a good time aja buat kalian. Gw bilang have a good time, schöne Zeit wünsche ich euch, dll tapi bukan selamat natal. Apa reaksi mereka? Mereka meminta maaf karena mereka ga tahu dan itu udah semacam tradisi saat natal saling mengucapkan selamat natal pada setiap orang. Ya buat gw itu bukan masalah, karena ga mempengaruhi keimanan gw sampai saat ini.

Bangun tidur tadi gw langsung dapat ucapan natal satu lagi dari Nora. "Frohe Weihnachten, Vitri" dan lagi-lagi gw jawab "Nett von dir, habe aber keine Weihnachten gefeiert". Apa setelah itu gw dan Nora berdebat panjang lebar dan dikatai ga toleransi? Ga, biasa aja tuh. Yang gw bikin aneh disaat salah satu temen dari temen gw mengomentari dengan komentar yang menurut gw ga manusiawi sekali. Dia mengomentari hadiah natal yang kami terima dengan kalimat seperti ini "Kenapa kalian terima pemberiannya, itu kan UANG HARAM!!!". Meine Güte, dengan mudahnya dia melabeli halal dan haram. This is hablum minannas, hubungan manusia dengan manusia dimana resepnya ada tujuh (Q.S. Al Hujurat 6-12):
  1. Tabayun, mengecek kebenaran suatu berita yang sampai ke telinga kita.
  2. Ishlah, meluruskan yang tidak lurus, mendamaikan yang tidak damai, merukunkan yang tidak rukun serta meluruskan informasi yang salah.
  3. Hindari taskhirriyah atau meremehkan dan mengolok-olok orang lain.
  4. Jangan menghina orang lain.
  5. Jauhi sikap suudzon atau buruk sangka.
  6. Jangan suka mencari kesalahan orang lain.
  7. Jangan suka bergunjing.
“Sebaik-baik manusia diantara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” itu perintah Rosul. Jadi mau dia agamanya apa, warna kulitnya apa, matanya segaris kayak koin atau bulet gede kayak koin juga, ga lantas harus bersikap beda. Ga enak loh disebut, dianggap, diperlakukan sebagai "minoritas". Trust me, it sucks jadi yang namanya minoritas. Cuma dengan jadi yang namanya minoritas, gw dan sebagian teman muslim lainnya disini merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh minoritas di Indonesia dan sedih melihat perlakuan mayoritas pada minoritas di Indonesia, karena kami yang minoritas disini mendapatkan perlakuan yang jauh berkali-kali lipat lebih baik. Jadi masih meributkan ngucapin natalan atau tidak?

No comments:

Post a Comment

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...