Postingan ini berasal dari postinganku di blog microwife.wordpress.com
Sudah empat tahun aku berada di Jerman: Satu tahun aku habiskan dengan menjadi
Aupair di keluarga angkatku yang
alhamdulillah
masih berhubungan baik sampai sekarang, dua tahun aku habiskan untuk
belajar bahasa Jerman (yang susahnya amit-amit) dengan intensif dan satu
tahun terakhir aku menjalani nasibku menjadi seorang mahasiswa
Universitas Trier jurusan
Erziehungswissenschaften a.k.a. jurusan ilmu pendidikan.
Aku
ke Jerman bukan karena aku anak orang kaya atau aku pinter nggak
ketulungan sehingga aku dapat beasiswa, bukan. Aku ke Jerman karena aku
saat itu mau menjauhi mantan pacarku yang selalu ngerasa kalau aku
terlalu menyita waktunya dengan minta ketemu tiap hari, padahal mah
nggak sama sekali. Wajar kali ya kalau nanya dia mau datang ke tempatku
atau nggak, supaya aku bisa membuat rencana lebih baik. Tapi dasar dia
kepedean, aku nanya begitu dia nyangka aku ingin ketemu, padahal nggak.
Yaudah, aku putusin untuk menjauhi dia dengan pergi ke Jerman, biar
nyaho kan, giliran dia yang mau ketemu
pan susah.
Selain
itu, dulu aku sempat kuliah di salah satu universitas di Bandung
jurusan Pendidikan Bahasa Jerman. Jangan bayangin kalau aku ke Jerman
sudah fasih
cas cis cus bahsa Jerman, nggak sama sekali. Aku
bahkan baru mulai menyukai bahasa Jerman di semester akhir, pada
masa-masa menulis skripsi, itu juga karena aku dapet dosen pembimbing
yang nyeremin abis,
killer, perfeksionis,
hhhhhh...
petaka kalau kali itu aku mikirnya. Tapi sekarang justru aku bersyukur
sekali sudah dibimbing oleh beliau, mungkin kalau dosen pembimbingnya
bukan beliau aku nggak akan kepikiran untuk belajar bahasa Jerman lebih
tekun lagi.
Jujur aku setengah hati kuliah di jurusan bahasa
Jerman, soalnya saat itu yang aku inginkan kuliah di jurusan bahasa
Jepang. Tapi karena sepupu yang waktu itu mengantar aku daftar kuliah
memburu-buru aku untuk cepat menyerahkan aplikasi pendaftaran, akhirnya
aku mengisi kode bahasa Jerman sedangkan mataku membaca kode bahasa
Jepang.
Fix salah jurusan. Tapi diakhir-akhir aku malah suka
bahasa Jerman, mulai ngerjain soal-soal dan tugas semester satu sampai
semester terakhir dalam waktu dua minggu. Cuma aku nggak mungkin lagi
belajar bahasa Jerman di kampus, aku juga nggak mau les bahasa Jerman
selepas kuliah, sampai akhirnya kepikiran kenapa nggak belajar langsung
di negaranya?
Aku yang bukan anak orang kaya, langsung nyari
informasi gimana caranya ke Jerman dengan modal uang pas-pasan. Setahu
aku, dari angkatanku ada beberapa orang mahasiswa yang saat itu
berangkat ke Jerman. Aku juga tahu kalau mereka yang saat itu berangkat
ke Jerman bukan anak orang kaya, tapi intinya mereka bisa ke Jerman,
gimana caranya? Aku mulai tanya-tanya ke teman-teman, ada yang ngasih
informasi tapi setengah-setengah, mungkin karena mereka ingin bantu tapi
mereka juga nggak tahu tepatnya gimana, tapi ada juga yang jelas-jelas
tahu informasinya dengan jelas tapi menutup informasi sama sekali,
yasudahlah nasib harus nyari sendiri.
Berbekal kuota modem yang
baru di isi, aku mencari informasi mengenai cara ke Jerman yang ternyata
di internet banyak banget informasi mengenai ini dan aku mulai tahu
dari situ bahwa temanku yang ke Jerman saat itu untuk menjadi
Aupair. Aku kumpulkan segala informasi mengenai
Aupair, apa persyaratannya, berapa biayanya sampai bagaimana caranya untuk mendapatkan keluarga yang bersedia menjadi
host family selama satu tahun, semuanya aku kerjakan sendiri.
Di saat ada keluarga yang sudah bersedia menjadikanku
Aupair di tempatnya, masalah justru aku dapat dari keluargaku, mereka nggak mendukungku sama sekali untuk ke Jerman menjadi
Aupair. Kuliah lama dan mahal hanya untuk jadi TKW di Jerman, memalukan
bo, yes
wajar kalau keluargaku sampai berpikiran begitu tapi mau gimana lagi,
cuma itu salah satunya cara supaya aku bisa belajar bahasa Jerman
langsung di negaranya. Waktu mencari-cari
host family yang
cocok dengan kriteriaku juga itu nggak mudah, karena belum tentu juga
aku memenuhi kriteria mereka. Kalau pun kriterianya cocok, salah satu
kendala yang menjadikan alasan aku ditolak banyak keluarga saat itu
yaitu kerudung dan Islam. Lagi-lagi wajar kalau para
host family itu agak was-was untuk memiliki
Aupair beragama Islam yang berkerudung, secara
image Islam saat itu nggak begitu baik dikalangan dunia internasional. Sampai akhirnya aku menemukan
host family aku, mereka mau menerima
Aupair
yang Islam dan berkerudung, tapi itu juga nggak lantas aku langsung
diterima jadi Aupairnya. Aku sempet ditolak oleh mereka karena aku
kandidat yang ketiga, tapi karena aku terlanjur menambahkan keluarga itu
di
Facebook sebagai teman, akhirnya kami pun kembali menjalin kontak dan aku kembali ditanya apa aku masih tertarik untuk menjadi
Aupair di keluarga mereka atau nggak, karena kandidat
Aupair yang pertama dan keduanya menolak tawaran untuk jadi
Aupair
di keluarga tersebut karena kandidat yang pertama akan meneruskan studi
di negara asalnya dan kandidat yang kedua diterima kerja jadi pramugari
di salah satu maskapai nasional di negaranya.
Setelah
deal menjadi
Aupair di keluarga tersebut, kontrak kerja pun dikirimkan, melalui pos dan juga melalui
email. Isi kontrak kerjanya yaitu kegiatan apa saja yang harus aku lakukan selama menjadi
Aupair di keluarga tersebut.
Alhamdulillah
tugasnya tidak begitu berat karena anak yang harus aku dampingi umurnya
sudah delapan tahun dan adiknya yang laki-laki berkebutuhan khusus dan
umurnya enam tahun saat itu. Selain kontrak kerja,
host family
juga mengirimkan lampiran surat keterangan bahwa aku terdaftar memiliki
asuransi kesehatan yang ternyata kepemilikan asuransi kesehatan di
Jerman itu wajib hukumnya.
Aku yang saat itu belum memiliki
passpor, langsung sibuk mempersiapkan dokumen kelengkapan untuk
mengajukan pembuatan passpor. Ternyata nama di KTP dan Akte Kelahiran
milikku berbeda dan itu harus disamakan terlebih dahulu, baru aku bisa
membuat passpor. Selain itu, aku juga harus memiliki sertifikat
kemampuan bahasa Jerman minimal level dasar (A1), jadi saat itu juga aku
mendaftarkan diri untuk ikut ujian A1 di
Goethe Institut Bandung. A1 saja ujian yang aku ikuti kali itu, karena aku takut nggak lulus kalau
sok-sokan
ikut ujian yang levelnya di atas itu. Untuk pembuatan visa ternyata
harus membuat janji dulu dengan kedutaan Jerman di Jakarta, aku pikir
membuat janjinya harus datang kesana tapi ternyata lewat internet.
Tinggal masuk ke situs kedutaan Jerman di Indonesia lalu pilih
appointment untuk pengajuan visa.
Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Passpor selesai dibuat, ujian A1 juga lulus dengan nilai yang memuaskan (malu
dong
kalau nilainya jelek apalagi kalau sampai nggak lulus), visa juga
selesai dalam waktu tiga minggu. Akhirnya tanggal 15 September 2012 aku
berangkat ke Jerman diiringi isak tangis keluarga, karena aku belum
pernah pergi sendirian sampai sejauh itu, di Indonesia aja aku belum
kemana-mana, ke Jakarta aja baru 3 kali, parah
kan? Jadi wajar kalau aku ke Jerman kali itu keluarga yang mengantar pada nangis, apalagi mama. Tapi sabar aja,
toh setahun itu nggak lama. Ternyata sampai tahun keempat aku masih juga ada di Jerman,
alhamdulillah. Semuanya yang terjadi padaku seperti kebetulan-kebetulan yang tersusun dengan sangat baik.
But,
in the end I have to say, that life is not merely a series of
meaningless accidents or coincidences. But rather, it's a tapestry of
events that culminate in any exquisite, sublime plan. Notice how every
major events in your life somehow leads up to the next and connected.