Monday 6 February 2017

Cemburu dan Masa Lalu

Beberapa hari lalu aku membaca salah satu postingan temanku di Facebook. Temanku ini mengutarakan kekecewaannya karena ada salah seorang perempuan yang mengucapkan selamat ulang tahun pada suaminya melalui pesan langsung "Perempuan yang kirim pesan pribadi untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke suami orang lain, tergolong perempuan-perempuan yang minta disumpahin cepet nikah biar ga caper lagi sama suami orang", begitu kira-kira isi postingan teman saya itu.

Lalu tadi pagi saat mau siap-siap untuk sarapan, aku iseng liat-liat postingan foto di Instagram sampai akhirnya aku menemukan postingan video punya suami yang ia post kemarin. Aku membaca sebaris kalimat di kolom komentar video tersebut "Baru aja dimimpiin, eh muncul di timeline wkwk" dari mantannya. Aku melirik ke arah suami yang saat itu ada disebelah, suami rupanya sadar kalau aku udah agak lama ngeliatin dia, lalu dia mengusap-usap kepalaku, adem rasanya saat itu tapi entah kenapa ada perasaan lain yang saat itu aku rasakan. Cemburu kah?

Ini sudah kedua kalinya aku dapati mantannya mengomentari postingan suami di sosial media. Sebenarnya hanya sekali mantannya berkomentar di postingan suami, yang satu lagi (ini yang pertama) mantannya berkomentar "lol" dipostingannya sendiri yang merupakan foto suami dan (yang saat itu menjadi) pacarnya sedang membuat manusia salju, foto kenangan mereka dua tahun yang lalu. Hhhhhh, kenapa sih sosial media sekarang malah memunculkan kenangan lama yang sepertinya kok menyakitkan ya kalau aku liat dan membayangkan keakraban mereka dulu.

Aku iseng-iseng ngobrol ke suami "Duh, gaya nih, ada yang baru dimimpiin" suami awal-awalnya kebingungan waktu aku bilang kayak gitu pagi tadi, tapi pas sore aku bilang kayak gitu lagi rupanya suami sudah tahu apa yang aku maksud. "Kamu cemburu?" aku langsung menjawab "Nggak" karena aku ga tahu apa yang saat itu aku rasa. Aku juga takut kalau memang ternyata aku cemburu, karena sepertinya aneh dulu aku ga pernah cemburu sama sekali saat suami membicarakan pacarnya (saat suami belum melamar aku) tapi kenapa sekarang setelah menikah aku merasa kayak gini, aneh kah?
Salah satu teman kami bilang "Seharusnya lu ga cemburu lagi, ngapain coba? Kan lu udah nikah sama suami lu" tapi yang namanya perasaan ga bisa dibohongi. Wajarkah kalau aku seperti ini? Apalagi suami pernah menjawab bahwa di satu sisi aku dan mantannya memiliki sifat yang sama. Bodohnya aku saat itu, kenapa aku harus bertanya apa suami masih ingat mantannya atau ga. Ingin aku memutar waktu supaya pertanyaan bodoh itu ga pernah terlontar supaya aku tidak usah mendengar jawaban yang entah kenapa terasa menyakitkan.
Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa berdamai dengan hati?

Suamiku,
Sering aku bertanya, apakah masih kamu memikirkan tentangnya?
Tentang dia yang bertahun-tahun bersamamu, menyayangimu, cemburu pada siapapun yang dekat denganmu.
Diakah yang kamu lihat saat kamu melihatku?
Diakah yang kamu ingat kala kamu memperhatikanku?
Sering aku bertanya, kapan aku mulai cemburu padamu?
Bukankan kita bermula dari dua sosok yang sama sekali tak saling mengenal?
Semakin banyak waktu yang kita lalui bersama membuat perasaanku padamu bertambah dan semakin bertambah.
Semakin kupikir, semakin aku menyadari, bahwa pada detik pertama aku cemburu, aku telah jatuh cinta kepadamu.

What if your little sister, is not little anymore?

Hari ini, 11 Desember 2016, merupakan hari yang paling menyedihkan dalam sejarah hidupku sebagai seorang kakak. Adik, kembaran (sebenernya umurnya beda setahun), saingan terberat, sahabat terdekat hari ini melangsungkan pernikahannya. Adikku hari ini resmi dipersunting oleh laki-laki yang setahun belakangan ini menjadi pacarnya dan hari ini mereka telah sah menjadi sepasang suami istri.
1937493_10203565765358827_2036706478880710331_n
Me (Right, Yeah, I'm always right), my sister




Gimana ga sedih, aku hanya melihat prosesi ijab kabul adikku melalui Facebook live yang disiarkan secara khusus oleh bapak mertua terbaik yang pernah aku punya. Mulai dari jam 2 dini hari aku dan suami dengan setia mengikuti prosesi acaranya dimulai dari mapag panganten (FYI, keseluruhan upacara pernikahannya menggunakan upacara adat sunda), pengalungan mangle (kalungan bunga melati) kepada calon suami adikku oleh mama, ijab kabul, suapa-suapan, sungkem dan saweran. Aku dan suami hanya sanggup bertahan sampai saweran, pas bagian kirab pengantin kami tonton saat kami bangun tidur.

Aku senang melihat adikku bahagia, akhirnya ada laki-laki yang akan selalu menjaga dia dan aku harap dia ga akan pernah lagi merasakan patah hati. Selama prosesi pernikahan berlangsung aku masih bisa tersenyum-senyum, ga ada rasa sedih sedikitpun melihat keseluruhan rangkaian prosesi pernikahannya sampai akhirnya tiba-tiba aku menyadari bahwa mulai dari hari ini adikku ga akan lagi merengek-rengek padaku. Adik kecilku sekarang sudah menjadi seorang wanita dewasa yang seutuhnya. Tanpa terasa aku mulai menelusuri foto-foto yang pernah kami ambil bersama dan mataku berhenti pada sebuah foto dimana aku dan adikku berdiri saling berangkulan dan kami mengenakan baju yang sama seperti layaknya anak kembar.

Aku nyalakan laptopku dan mulai menulis surat pendek kepada adikku. Aku minta suamiku untuk membaca kembali suratnya karena surat itu aku tulis dalam bahasa Inggris dan aku akui bahwa sekarang kemampuan bahasa Inggrisku sudah tidak sebaik dulu, whatever. Selama aku menulis surat pendek untuk adikku, otak dan perasaanku dibanjiri kenangan-kenangan yang pernah kami lalui bersama. Aku ingat kalau aku pernah memarahi adikku habis-habisan hanya karena dia memakan potongan kecil dari coklat yang aku punya yang ingin aku bagi pada temanku. Masih hangat di ingatanku kalau adikku saat itu menangis dan menjelaskan kalau coklat yang dia makan coklatku karena temanku, Ineu, memberikan coklat itu padanya, tapi aku marah dan tidak mendengarkan penjelasan adikku sedikitpun. Andai aku bisa kembali ke masa itu, aku akan menahan diri untuk tidak memarahi adikku dan membuat dia menangis karena pada akhirnya aku menyesali apa yang pernah aku lakukan, walaupun mungkin semuanya sudah terlalu terlambat untuk disesali dan entah adikku masih ingat atau tidak.

Suamiku membaca surat yang aku tulis lalu dia memintaku untuk membacanya dengan jelas karena suamiku ingin tahu bagaimana perasaanku saat aku menulis surat itu dan tanpa terasa air mataku mengalir.

Dear sister,
there was a time in our life to be a twins-look-like, we wore a similar outfits most of the time in our life.
We played together, gone to the same school even we've been placed in the different grade and class, we smiled together, we laughed so hard, we cried,
we argued and sometimes we fought over something silly.
That time, we used to share all of our happy and sad stories, our failures and achievements, loves and broken hearts.
For about two months, I have someone to share everything with, but your place is never be replaced, you know that, right?
And now you have someone to share everything with too, who cares about you, loves you as you are and he'll be by your side and I hope your heart will never be broken again.
It's hard for me to believe that you're reading this thousands miles across the sea and I'm sorry that I can't be there on your wedding day.
But you know I'm by your side, even if I'm not.

With Love,
Sister
P.S.: You look pretty in that wedding dress, keep shining and be brilliant

Selamat menempuh hidup baru adik tersayang, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, aamiin.

Ternyata aku (belum) hamil :(

Yaaaiiiiyyyyy, full satu minggu ga pergi ke kampus, ga satu minggu juga sih sebenernya orang kuliahnya cuma dari Senin sampai Kamis, cuma ga enaknya bolos kuliah kali ini karena emang ga begitu enak badan. Dari hari Sabtu minggu kemaren sampe hari ini bawaannya setiap hari itu mual-mual, rasanya kepengen muntah dan badan kerasanya itu lemes banget padahal kondisi badan ok ok aja rasanya. Bentar-bentar diem, gerak dikit ngos-ngosan, terus ketiduran, kerjaan rumah bener-bener ga selesai, sampai-sampai suami ikutan turun tangan, tumpukan piring kotor di wastafel tahu-tahu udah kesusun rapi di rak piring, karpet di ruang tengah udah balik ke tempat semula alias kembali digelar di atas lantai setelah seminggu lebih nangkring di pojokan ruangan, digulung, karena takut kena kotor tukang yang dateng; 'mayat-mayat' serangga kecil yang berjatuhan di deket jendela juga udah ilang, makasih banyak suami :*

Suami udah keukeuh aja ngajakin periksa ke dokter, cuma kalau periksa ke dokter nanti aku ditanya sama dokter gimana hasilnya tes lab dari Urologe dan Gynäkolog, aku kan sampai hari ini masih juga belum pergi kesana karena males dan waktunya ga pas terus, mana disini jarang banget ada dokter yang langsung nerima pasien untuk konsultasi, apa-apa harus bikin appointment dulu, ga praktis banget ya :(

Ga tau dapet ide darimana tiba-tiba suami bilang "Yang, jangan-jangan kamu hamil ya?". WHAT???? HAMIIILLLLL???? Masa sih hamil? Dengan sigap, suami langsung meraih handphonenya yang saat itu diletakkan di atas bantal. Dia langsung memasukan kata kunci "ciri-ciri kehamilan" di search engine dan suamiku pun dengan serius mulai membaca artikel tersebut satu demi satu. "Iya Yang, kayaknya kamu hamil, semua ciri-cirinya disini persis sama kayak keluhan kamu". Antara bingung dan senang, semuanya campur aduk, "Kok bisa aku hamil?" karena kemungkinan bagiku untuk hamil saat ini itu 0,01 %. Ya, 0,01 % karena aku sudah mulai minum Babypille atau pil KB yang diresepkan oleh dokter dari seminggu sebelum kami menikah dan aku selalu meminum pil tersebut setiap hari tanpa terlewat, ya walaupun aku minum di jam yang berbeda tapi kemungkinan untuk hamil tetap kecil. Untuk menjawab rasa penasaran kami akhirnya diputuskan untuk membeli test pack lewat internet, soalnya kalau beli di toko harganya mahal untuk ukuran kantong kami, 8 € untuk satu strip dan hanya bisa dipakai untuk satu kali tes, lebih baik kami pakai uangnya untuk beli daging steak, itu juga harganya cuma 6 €.

Besoknya pesananku datang dan aku langsung tes urine dan seperti dugaanku, hasilnya ternyata memang negative. Antara senang dan sedih perasaanku saat itu, senang karena aku ga hamil yang artinya aku masih bisa tetap kuliah dan kerja selama satu tahun kedepan, tapi disisi lain aku juga ngerasa sedih karena aku jadi ga tahu apa sebenernya aku bisa hamil atau nggak. Tahun 2010 aku divonis oleh salah satu dokter di Bandung kalau aku mengidap suatu penyakit bernama endometriosis yang katanya penyakit ini tuh salah satu penyebab perempuan di dunia kesulitan untuk memiliki keturunan. Para perempuan tersebut baru mengetahui mereka mengidap endometriosis setelah mereka berkali-kali berusaha untuk punya anak tapi selalu tidak berhasil. Syukurlah Tuhan maha baik, aku diberi tahu kalau aku mengidap penyakit ini jauh sebelum aku merencanakan untuk mempunyai anak, bahkan saat itu untuk menikah saja aku belum kepikiran. Syukurlah aku dipertemukan dengan suami yang sangat supportive dan menerima aku apa adanya, suami dan keluarganya sudah tahu dari awal kalau aku mengidap penyakit tersebut. Suami selalu bilang "Aku seneng kita punya anak, tapi kalau ga juga gapapa, kita bisa terus pacaran kayak sekarang. Kalau kamu kesepian, nanti kita ajak orang tua kita untuk tinggal disini", selalu terharu setiap kali denger suami ngucapin kalimat-kalimat seperti ini, alhamdulillah banget Allah SWT ngirim dia dan bukan yang lain untuk jadi suami aku. Bismillah, semoga kami selalu diberi yang terbaik oleh Allah SWT, aamiin.

Agen Muslim Eropa

Pertama kali denger kata agen muslim itu pas nonton filmnya Hanum Rais "99 Cahaya di Langit Eropa". Ngebayangin gimana susahnya saudara-saudara seiman kita untuk berjuang ngebantu para mualaf untuk mengenal Islam. Problem utama yang dihadapi jelas adalah bahasa, karena begitu multikulturalnya penduduk di Eropa sehingga permasalahan dalam bidang penguasaan bahasa menjadi permasalahan yang paling mendasar, karena tidak semua menguasai bahasa Jerman, Perancis atau bahkan Inggris. Jangan salah, di Eropa banyak banget ternyata penduduknya yang tidak fasih bahasa Inggris, termasuk di kelas dimana aku belajar. Setiap Senin jam 18.15 sampai jam 19.45 mata kuliah ,,Unaccompanied Minors and Western Welfare State" merupakan mata kuliah satu-satunya di semester ini yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris, jadi jangan heran kalau ga semua mahasiswa turut berperan aktiv dalam diskusi atau banyak yang mencoba dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dan hey, it was a good job karena ga ada satupun yang akan ngetawain kalau ada yang salah ngomong atau ga tahu apa bahasa Inggrisnya (jadi flashback inget pidato bahasa Inggris presiden Indonesia yang menjabat sekarang yang langsung dapat olokan dan hinaan dari warganya, at least he has tried, right?)
Kembali ke topik agen muslim Eropa, ternyata untuk menjadi agen muslim itu bener-bener sulitnya subhanallah. Jangankan gaya kayak Hanum Rais dan temen-temennya yang memfasilitasi para mualaf untuk lebih mengenal Islam, jadi agen muslim dikalangan bangsa sendiri yang juga satu akidah saja sulitnya minta ampun.
Ngerasa bener hidup di Eropa sendirian (dulu, tapi alhamdulillah sekarang udah ga) dan tinggal di kota yang (dulu) minim orang Indonesianya, kualitas diri dalam bidang agama kerasa banget makin menurun. Solat udah sering yang ga di awal waktu, karena masuk kuliah sebelum masuk waktu dzuhur dan selesai selah masuk waktu ashar (fenomena pas winter), atau sulitnya nemu daging halal kalau tinggalnya di kota kecil yang dengan sangat terpaksa makan daging yang ga ada label halalnya selama substansinya bukan yang haram dan banyak contoh lainnya. Sampai-sampai pernah mutusin untuk pindah ke kota yang banyak orang Indonesianya dan ada pengajiannya. Ya pengajian, di kota dimana aku tinggal ini ga ada yang namanya pengajian, tiap berdoa selalu minta sama Allah untuk ngirim orang-orang soleh ke kota ini dan alhamdulillah aku akhirnya dipertemukan dengan mereka. Bayangkan, aku berdoa mulai dari 2012 bulan Desember dan baru terkabul bulan April 2016, betapa aku harus banyak bersabar dan kuat iman selama beberapa tahun ke belakang.
Jangan dulu ngebayangin orang Indonesia yang ada di kota ini sebelumnya jauh dari agama, tapi aku belum menemukan orang Indonesia yang kalau ngobrol dan diskusi dengannya itu bisa makin memperbaiki kadar keimanan dan ketaqwaan aku dan alhamdulillah aku akhirnya dipertemukan dengan mereka yang sama-sama ingin belajar untuk semakin mengenal agama Islam. Akhirnya tercetuslah untuk mengadakan pengajian yang mudah-mudahan sih bisa jadi agenda rutin, aamiin. Tapi problem apa yang kami hadapi yang mengharuskan kami untuk sabar? Respon dari teman-teman yang sungguh sangat diluar dugaan.

chat-1
Chat surprise yang pertama
chat-2

Giliran dibalesnya begitu, itu si tetek kecetak sama si belahan pantat kelihatan ga ada ngomong lagi cuma yang pertama ngasih icon unjuk tangan sebagai respon kalau dia bisanya datang mulai dari jam 19.00 dan yang keduanya, which is si belahan pantat keliatan ga bisa datang karena harus kerja katanya. Yang disayangkan itu kenapa responnya harus begitu? Di grup tersebut kan bukan cuma muslim anggotanya tapi ada juga penganut agama lain. Responnya beda banget kalau sama respon yang nanggapin ajakan buat party, clubbing, ke pub dan lain-lain. Cuma bisa istighfar dan baca basmallah supaya kita semua dikasih kekuatan dan kesabaran buat terus istiqamah, aamiin.

Lika-liku Menuju Jerman

Postingan ini berasal dari postinganku di blog microwife.wordpress.com

Sudah empat tahun aku berada di Jerman: Satu tahun aku habiskan dengan menjadi Aupair di keluarga angkatku yang alhamdulillah masih berhubungan baik sampai sekarang, dua tahun aku habiskan untuk belajar bahasa Jerman (yang susahnya amit-amit) dengan intensif dan satu tahun terakhir aku menjalani nasibku menjadi seorang mahasiswa Universitas Trier jurusan Erziehungswissenschaften a.k.a. jurusan ilmu pendidikan.
Aku ke Jerman bukan karena aku anak orang kaya atau aku pinter nggak ketulungan sehingga aku dapat beasiswa, bukan. Aku ke Jerman karena aku saat itu mau menjauhi mantan pacarku yang selalu ngerasa kalau aku terlalu menyita waktunya dengan minta ketemu tiap hari, padahal mah nggak sama sekali. Wajar kali ya kalau nanya dia mau datang ke tempatku atau nggak, supaya aku bisa membuat rencana lebih baik. Tapi dasar dia kepedean, aku nanya begitu dia nyangka aku ingin ketemu, padahal nggak. Yaudah, aku putusin untuk menjauhi dia dengan pergi ke Jerman, biar nyaho kan, giliran dia yang mau ketemu pan susah.
Selain itu, dulu aku sempat kuliah di salah satu universitas di Bandung jurusan Pendidikan Bahasa Jerman. Jangan bayangin kalau aku ke Jerman sudah fasih cas cis cus bahsa Jerman, nggak sama sekali. Aku bahkan baru mulai menyukai bahasa Jerman di semester akhir, pada masa-masa menulis skripsi, itu juga karena aku dapet dosen pembimbing yang nyeremin abis, killer, perfeksionis, hhhhhh... petaka kalau kali itu aku mikirnya. Tapi sekarang justru aku bersyukur sekali sudah dibimbing oleh beliau, mungkin kalau dosen pembimbingnya bukan beliau aku nggak akan kepikiran untuk belajar bahasa Jerman lebih tekun lagi.
Jujur aku setengah hati kuliah di jurusan bahasa Jerman, soalnya saat itu yang aku inginkan kuliah di jurusan bahasa Jepang. Tapi karena sepupu yang waktu itu mengantar aku daftar kuliah memburu-buru aku untuk cepat menyerahkan aplikasi pendaftaran, akhirnya aku mengisi kode bahasa Jerman sedangkan mataku membaca kode bahasa Jepang. Fix salah jurusan. Tapi diakhir-akhir aku malah suka bahasa Jerman, mulai ngerjain soal-soal dan tugas semester satu sampai semester terakhir dalam waktu dua minggu. Cuma aku nggak mungkin lagi belajar bahasa Jerman di kampus, aku juga nggak mau les bahasa Jerman selepas kuliah, sampai akhirnya kepikiran kenapa nggak belajar langsung di negaranya?
Aku yang bukan anak orang kaya, langsung nyari informasi gimana caranya ke Jerman dengan modal uang pas-pasan. Setahu aku, dari angkatanku ada beberapa orang mahasiswa yang saat itu berangkat ke Jerman. Aku juga tahu kalau mereka yang saat itu berangkat ke Jerman bukan anak orang kaya, tapi intinya mereka bisa ke Jerman, gimana caranya? Aku mulai tanya-tanya ke teman-teman, ada yang ngasih informasi tapi setengah-setengah, mungkin karena mereka ingin bantu tapi mereka juga nggak tahu tepatnya gimana, tapi ada juga yang jelas-jelas tahu informasinya dengan jelas tapi menutup informasi sama sekali, yasudahlah nasib harus nyari sendiri.
Berbekal kuota modem yang baru di isi, aku mencari informasi mengenai cara ke Jerman yang ternyata di internet banyak banget informasi mengenai ini dan aku mulai tahu dari situ bahwa temanku yang ke Jerman saat itu untuk menjadi Aupair. Aku kumpulkan segala informasi mengenai Aupair, apa persyaratannya, berapa biayanya sampai bagaimana caranya untuk mendapatkan keluarga yang bersedia menjadi host family selama satu tahun, semuanya aku kerjakan sendiri.
Di saat ada keluarga yang sudah bersedia menjadikanku Aupair di tempatnya, masalah justru aku dapat dari keluargaku, mereka nggak mendukungku sama sekali untuk ke Jerman menjadi Aupair. Kuliah lama dan mahal hanya untuk jadi TKW di Jerman, memalukan bo, yes wajar kalau keluargaku sampai berpikiran begitu tapi mau gimana lagi, cuma itu salah satunya cara supaya aku bisa belajar bahasa Jerman langsung di negaranya. Waktu mencari-cari host family yang cocok dengan kriteriaku juga itu nggak mudah, karena belum tentu juga aku memenuhi kriteria mereka. Kalau pun kriterianya cocok, salah satu kendala yang menjadikan alasan aku ditolak banyak keluarga saat itu yaitu kerudung dan Islam. Lagi-lagi wajar kalau para host family itu agak was-was untuk memiliki Aupair beragama Islam yang berkerudung, secara image Islam saat itu nggak begitu baik dikalangan dunia internasional. Sampai akhirnya aku menemukan host family aku, mereka mau menerima Aupair yang Islam dan berkerudung, tapi itu juga nggak lantas aku langsung diterima jadi Aupairnya. Aku sempet ditolak oleh mereka karena aku kandidat yang ketiga, tapi karena aku terlanjur menambahkan keluarga itu di Facebook sebagai teman, akhirnya kami pun kembali menjalin kontak dan aku kembali ditanya apa aku masih tertarik untuk menjadi Aupair di keluarga mereka atau nggak, karena kandidat Aupair yang pertama dan keduanya menolak tawaran untuk jadi Aupair di keluarga tersebut karena kandidat yang pertama akan meneruskan studi di negara asalnya dan kandidat yang kedua diterima kerja jadi pramugari di salah satu maskapai nasional di negaranya.
Setelah deal menjadi Aupair di keluarga tersebut, kontrak kerja pun dikirimkan, melalui pos dan juga melalui email. Isi kontrak kerjanya yaitu kegiatan apa saja yang harus aku lakukan selama menjadi Aupair di keluarga tersebut. Alhamdulillah tugasnya tidak begitu berat karena anak yang harus aku dampingi umurnya sudah delapan tahun dan adiknya yang laki-laki berkebutuhan khusus dan umurnya enam tahun saat itu. Selain kontrak kerja, host family juga mengirimkan lampiran surat keterangan bahwa aku terdaftar memiliki asuransi kesehatan yang ternyata kepemilikan asuransi kesehatan di Jerman itu wajib hukumnya.
Aku yang saat itu belum memiliki passpor, langsung sibuk mempersiapkan dokumen kelengkapan untuk mengajukan pembuatan passpor. Ternyata nama di KTP dan Akte Kelahiran milikku berbeda dan itu harus disamakan terlebih dahulu, baru aku bisa membuat passpor. Selain itu, aku juga harus memiliki sertifikat kemampuan bahasa Jerman minimal level dasar (A1), jadi saat itu juga aku mendaftarkan diri untuk ikut ujian A1 di Goethe Institut Bandung. A1 saja ujian yang aku ikuti kali itu, karena aku takut nggak lulus kalau sok-sokan ikut ujian yang levelnya di atas itu. Untuk pembuatan visa ternyata harus membuat janji dulu dengan kedutaan Jerman di Jakarta, aku pikir membuat janjinya harus datang kesana tapi ternyata lewat internet. Tinggal masuk ke situs kedutaan Jerman di Indonesia lalu pilih appointment untuk pengajuan visa.
Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Passpor selesai dibuat, ujian A1 juga lulus dengan nilai yang memuaskan (malu dong kalau nilainya jelek apalagi kalau sampai nggak lulus), visa juga selesai dalam waktu tiga minggu. Akhirnya tanggal 15 September 2012 aku berangkat ke Jerman diiringi isak tangis keluarga, karena aku belum pernah pergi sendirian sampai sejauh itu, di Indonesia aja aku belum kemana-mana, ke Jakarta aja baru 3 kali, parah kan? Jadi wajar kalau aku ke Jerman kali itu keluarga yang mengantar pada nangis, apalagi mama. Tapi sabar aja, toh setahun itu nggak lama. Ternyata sampai tahun keempat aku masih juga ada di Jerman, alhamdulillah. Semuanya yang terjadi padaku seperti kebetulan-kebetulan yang tersusun dengan sangat baik. But, in the end I have to say, that life is not merely a series of meaningless accidents or coincidences. But rather, it's a tapestry of events that culminate in any exquisite, sublime plan. Notice how every major events in your life somehow leads up to the next and connected.

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...