Friday 8 May 2015

Untuk Mama yang Menginginkan Anaknya Pulang serta Berkeluarga

Assalamualaikum Mama, bagaimana kabarnya?
Aku disini baik-baik saja, selalu aku katakan begitu supaya aku tidak membebani pikiranmu. Ma, maaf telah membuatmu menunggu kepulanganku yang sangat lama serta terimakasih karena Mama masih selalu menyebutku di dalam setiap doa. Aku merasakan bahwa Allah mengabulkan setiap untaian doa-doamu dari setiap kebaikan dan cinta yang aku dapatkan selama aku jauh darimu.
Ma, aku ingat dulu syarat yang Mama katakan saat Mama melepasku untuk memulai hidup mandiri. "Tidak berubah, tetap solat, puasa, selalu menjadi anak baik yang menolong orang lain, selalu menjadi anak Mama dan Bapa dan hormat dan penyayang, tidak pernah mencari masalah, ...". Mama tahu, semuanya masih aku jaga hingga sekarang hingga akhirnya kesempatan itu datang kepadaku, tawaran untuk menuntut ilmu.
Ma, aku selalu semangat untuk menuntut ilmu supaya aku bisa menemani anak-anakku belajar menulis yang benar sama seperti yang dulu Mama ajarkan kepadaku. Hanya saja aku ingin sedikit lebih darimu sehingga jika anak-anakku punya PR yang sulit, mereka bisa bertanya padaku, tidak seperti aku yang tak pernah bisa belajar denganmu kala itu dan malah dengan tetangga yang sama sekali mengabaikan aku karena lebih fokus dengan anaknya.
Ma, apa selama ini permintaan untuk mendoakanku terlalu berat sehingga Mama memutuskan untuk mematahkan semangatku dan meminta aku untuk pulang. "Sudah dua tahun lebih kamu disana tapi kamu belum juga mulai dengan kuliah, sudah pulang saja" adalah kalimat yang seketika meruntuhkan semangatku untuk tetap bertahan dari godaan rindu melihat senyum, masakan bahkan untuk memelukmu di saat aku merasa dengan bersujud saja belum cukup bagiku. Jika aku sedurhaka itu, ingin aku teriakan kepadamu bahwa selama ini aku bekerja sedikit demi sedikit supaya aku tidak merepotkanmu dengan masalah biaya hidup dan sekolahku disini karena aku tahu kerutan-kerutan di wajahmu kian hari semakin dalam karena memikirkan kakak dan adik-adikku. Semenjak aku pergi 2012 hingga saat ini hanya uang 15000 rupiah yang aku kantongi darimu, "untuk jajan" pintaku saat itu ketika tahu bahwa dompetku hilang entah kemana, sampai saat ini uang itu masih tersimpan apik di tempatnya karena aku tak tega untuk menukarkan pemberian darimu dengan sesuatu yang mungkin akan aku sesali nanti.
"Kamu kerja disana ga ada prospek masa depan, kerjaan macam apa itu jauh berbeda dengan kerjaan kakak bahkan adikmu" lagi-lagi kalimatmu membuat aku sangat kecil dan merasa bahwa pekerjaan yang selama ini aku lakukan itu salah. Aku sempat berpikir saat itu "mungkin halal saja di matamu belumlah cukup" lantas apa yang harus ku kerjakan? Mama bilang "ga apa-apa yang penting halal toh uang tidak berbau" sepertinya sangat bertolak belakang dengan kalimat yang Mama ucapkan kemarin. Setiap hari aku bangun lalu berpikir "sampai kapan aku harus terus bekerja dan mengumpulkan uang dari hasil membersihkan rumah orang lain" tapi ingat kalimat Mama apalagi senyum Mama waktu uang itu aku kirimkan di hari ulang tahunmu membuat aku kembali semangat lagi. Tapi sekarang? Kenapa, Ma?
"Mau sampai kapan kamu hidup seperti ini? Di umur segini kamu harusnya udah punya suami". Ya aku tahu Ma, disaat teman-teman sudah punya anak satu bahkan dua atau tiga, aku justru malah kehilangan hubungan yang sudah aku bangun bertahun-tahun, putus hubungan bukan hal mudah bagiku Ma tapi aku berfikir ini saatnya atau diam sama sekali. Aku ingin mempunyai pasangan yang sangat mencintai keluarganya, kepada siapa aku titipkan Mama, Bapa, Kakak dan Adik-adik nanti jika suamiku hanya cinta aku saja? Aku menginginkan suami yang bisa membimbingku mengenal agamaku lebih dalam, dia yang akan berdiri di depanku nanti dan melantunkan ayat suci dengan indahnya, yang akan mengumandangkan adzan di telinga anak-anakku nanti, menceritakan perjuangan Rosulullah serta sahabatnya kepada anak-anak kami dan bukan mencekoki mereka dengan tokoh pahlawan picisan. Tentu bukan dia orangnya yang untuk shalat saja harus bersitegang dahulu.
Aku ingin suami yang bisa menegurku dalam diamnya, yang bisa mendengarkanku dan tidak membelaku saat aku salah dan berani meminta maaf jika dia yang salah. Tentu bukan dia orangnya yang disaat aku bercerita sesuatu langsung mengomentari dengan pedasnya dan tega menyuruhku menelantarkan orang-orang yang butuh pertolongan dariku. Aku ingin suami yang sangat mencintai anak-anak, bukan dia yang dengan teganya membiarkan anak kecil yang sakit untuk berjalan kaki di bawah terik matahari. Aku sedang berusaha Ma mendapatkan imam yang baik untukku, yang tidak akan membuat kalian khawatir karena iman dan islamku terjaga di tangannya. Untuk mendapatkan yang baik perlu waktu Ma, terburu-buru itu nafsu.
"Aku bisa Ma menikah dan sekolah" tapi lagi-lagi kalimat lain keluar sebagai jawaban yang artinya tetap TIDAK. Aku hanya ingin jadi ibu yang pintar, sehingga aku bisa mendidik anak-anakku sepertimu hanya saja lebih baik. Mungkin jika semua kalimatku tidak bisa diterima olehmu, maka tak mengapa jika aku harus seperti bintang jatuh, yang harus gugur untuk mengabulkan mimpi orang lain. Mimpimu, Ma.
Salam Hormat,
Anakmu

No comments:

Post a Comment

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...