Friday 14 November 2014

Aupair: Cara bertahan hidup di Gastfamilie

Di jam-jam kosong kayak sekarang gini sering banget gw ngelamunin masa-masa gw dulu diperbudak bocah (baca: Aupair). Sekarang kerjaan gw ngerjain soal latihan yang ga pernah ada abisnya, kalau bosen belajar paling banter gw nonton film dengan alasan sortir film mana yang harus di hapus. Sedangkan beberapa bulan kebelakang jam segini waktunya gw nemenin si bocah mandi, gosok gigi atau bacain cerita sebelum tidur. Dua tahun gw berkutat dengan kesibukan kayak begituan, apa ga bosen kalau lo tanya? Jangankan bosen, ngingetnya aja gw udah pengen muntah karena hampir tiap hari kerjaan gw gitu-gitu melulu. Cuma ya namanya aja rejeki, datangnya ga selalu dalam bentuk malaikat bersayap, terkadang wujudnya ya itu derita perlahan dan membosankan.

Tapi yang bikin gw cukup shock, belum juga 30 hari, udah ada 4 sampai 5 orang kenalan gw yang bermasalah sama Gastfamilienya. Bisa dihitung jari Aupair yang bertahan dikeluarganya sampai lebih dari 1 tahun dan ga ada masalah. Gw, yang muak banget tiap kali anak-anak bilang bahwa gw ini the master of babu, mencoba meneliti dan menyimpulkan masalah apa sebenernya yang dihadapi junior gw dikeluarga barunya yang asing. Biasanya masalah besar tersebut cuma terdiri dari tiga yaitu komunikasi, kultur dan ego. Gw tulis komunikasi berdekatan sama kultur karena ini saling berhubungan.

Sebagai Aupair yang datang ke negara baru dan langsung jadi anak yang sebatang kara di negara yang entah punya RT apa nggak ini, jelas mengharapkan sosok keluarga yang bisa ngobain rasa kangen rumah, setidaknya bisa sedikit mengalihkan dari mewek berkepanjangan. Sedangkan Gastfamilie, mereka mengharapkan seseorang yang bisa get along dengan mereka, duduk semeja, ketawa bareng dan yang paling utama dibantu dalam mengurus anak dan rumah. Sebagai orang yang sama-sama asing, maka komunikasi sangat dianjurkan. Contohnya gw yang selalu ga keabisan topik aneh buat ngomong pernah nanya kenapa di Jerman semua orang makan pakai garpu sama pisau, termasuk makan nasi, kenapa ga pakai sendok. Dari situ mereka dan gw mulai ngobrol banyak, gw juga cerita kalau di Indonesia hampir semua orang makan pakai tangan kecuali makanan yang berkuah dimakannya pakai sendok -karena kalau ga pakai sendok namanya itu kobokan- dan itu juga pasangannya garpu, bukan pisau. Jadi GF (Gastfamilie) ga akan aneh kalau kalian makan pakai sendok, asal jangan langsung pakai tangan aja karena sebagian orang jijik ngeliatnya.

Contoh diatas udah ngewakilin tuh yang namanya komunikasi dan kultur, lantas hubungannya sama ego apa? Jelas ada. Kalau si Aupair selama lahir makan pakai tangan dan belum pernah makan pakai sendok, garpu apalagi pisau dan dia ngotot ingin makan pakai tangan karena dia udah kebiasaan begitu padahal udah tahu kalau sekeluarganya jijik ngeliatnya, mending stop makan pakai tangan dan mulai belajar makan pakai sendok, garpu atau pisau. Andere Länder andere Sitten, lain lubuk lain ikannya.

Atau ada contoh lainnya, kayak temennya temen gw yang tiap hari kerjanya selalu ingin cepet beres karena ingin belajar supaya bisa masuk universitas Jerman. Kalian jangan lupa bahwa jika kalian terlalu ngurusin ego untuk kuliah, bisa-bisa bukannya kalian kuliah di Jerman, yang ada malah kalian balik ke Indonesia. Boro-boro kuliah, aupair aja ga lulus. Ga mau kan kayak gitu? Karena selama Aupair, tugas utamanya itu jagain anak dan untuk belajar bahasa kan kalian dikasih kesempatan untuk les. Jangan cari-cari alesan les cuma seminggu 1x, dan kalau belajar setelah jam Aupair beres itu cape, kalau niat belajar pasti bakal dikejar.

Kalau ada masalah atau ada pekerjaan yang harus dilakuin diluar Vertrag dan kalian keberatan, harus bilang terus terang jangan diem aja berharap mereka ngerti sendiri. Ini Jerman, bukan Indonesia dan hentikan banyak basa-basi. Kalau kalian keberatan, bilang keberatan. Kalau butuh bantuan, bilang butuh. Jangan bilang ga butuh tapi sebenernya butuh banget. Disini orang ga akan maksa kalau kalian bilang nggak. Kamu mau makan? Nggak. Ok fine. Ga akan ada yang maksa-maksa kalian buat nyoba kayak di Indonesia walaupun kalian sebenernya ingin dipaksa, jangan harap. Kalau kalian ngerjain sesuatu dan selama itu ga ada keluar kalimat "Gw kerepotan dan butuh bantuan" maka kalian ga akan dapat bala bantuan.

Kalau ada yang ga beres coba komunikasikan langsung dengan keluarga daripada curhat di medsos pake bahasa Jerman dan apesnya di baca GF lalu langsung besoknya dikeluarkan. Atau ada masalah dan langsung inisiativ cari keluarga tanpa membicarakannya dulu dengan GF dan tahu-tahu GF kalian nemu iklan kalian di internet ya namanya cari mati. Datang tampak muka, pergi tampak punggung. Behave..

Itu sih sebenernya yang harus diperhatikan, jangan terus-terusan mikir take and give tapi give more and you will have more too. Kalau kalian perhitungan dalam kerja, dalam apapun, maka selamat sampai kapanpun hubungan kalian hanya sebatas Aupair dan majikan. Bukannya kalian Aupair berharap untuk mendapat jaminan kuliah nanti? Menjamin adalah urusan yang berat buat GF, karena dia mempertaruhkan segalanya disana. Mereka ga akan pernah menjamin kalian kalau kaliannya perhitungan dan tidak bisa dipercaya. So, you know now what to do, right?

Good luck.


No comments:

Post a Comment

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...