Wednesday 12 November 2014

Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang!!!

Sekarang gw lagi rajin baca koran yang muat kabar tentang Indonesia, ada aja tiap hari hal baru yang bikin gw senyum-senyum, emosi, sedih bahkan sampai mengerutkan kening saking ga ngerti karena beritanya ga penting banget tapi di muat di bagian rubrik populer, wtf.

Beberapa hari kebelakang di Indonesia orang-orang lagi santer ngeberitain Persib yang akhirnya bisa menang setelah 19 tahun kalah melulu, ngalahin move on nya Cinta vs Rangga kalau kata orang bilang. Atau ada juga kakek petelur yang usut punya usut itu telur bukan telur kakek tapi telur ayam dan yang baru-baru ini ramai dipuji dan dicaci yaitu video mengenai kristenisasi yang diunggah di Youtube. Cuma yang menggelitik gw untuk mengomentari bukan ketiga berita di atas, tapi berita mengenai pidato presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo, di Beijing pada 10. 11 kemarin dalam rangka menghadiri Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).

Gw baca di salah satu artikel yang temen gw share ke Facebook, disitu disebut bahwa katanya Jokowi bahasa Inggrisnya ancur lebur berantakan dan memalukan sampai-sampai dua keponakan dari yang empunya artikel yang katanya les di LIA ngerasa malu dengernya. Segitu parahkah beliau dalam berbahasa Inggris?

Well, yang jelas gw sedih waktu gw baca komenan orang-orang di tautan artikel tersebut. Jujur, mental bangsa seperti itulah yang membuat negara kita, Indonesia, cuma masuk dalam G20 yang padahal sebenernya cukup disayangkan karena negara kita itu notabene adalah negara yang sangat kaya. Lantas apa hubungannya antara bahasa Inggris, mental pembully dan perekonomian? Jelas ada. Pernah denger kan kisah tentang pulau Solomon yang menebang pohon hanya dengan meneriakan kata kutukan? Kalau belum, bisa dibaca disini. Inti dari kisah yang terjadi di pulau Solomon itu adalah untuk mematikan potensi sesuatu, tidak dibutuhkan serangan fisik tetapi mental. Jika mental bangsa Indonesia dari sekarang sudah menjadi mental pencemooh, maka kita lihat bersama-sama 10 tahun kedepan yang tersisa di Indonesia hanya mereka yang berpikiran sempit dan senang mencemooh karena sisanya pada lari ke luar negeri dimana pikiran dan kemampuan mereka lebih di apresiasi di luar sana.

18 tahun lalu ketika gw masih duduk dibangku sekolahan, saat itu gw mulai sedikit-sedikit berbicara menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris dan Jepang. Tahu apa yang teman-teman gw bilang? "Lo ngomong bahasa Inggris apa kumur-kumur? Jelek banget, mending gw sekalian jelas-jelas ga bisa daripada lo yang ga bisa tapi sok-sokan ngomong bahasa Inggris". Gw yang saat itu masih duduk di bangku SD cuma bisa diam dan ga pernah lagi mau coba untuk ngomong pakai bahasa Inggris apalagi bahasa Jepang di depan orang lain. Ya, temen gw sudah membunuh karakter yang ada dalam diri gw. Gw cuma bisa latihan ngomong di depan cermin seolah-olah ada seseorang yang ngobrol dengan gw, atau baca buku bahasa Inggris dikencengin seolah-olah gw lagi ngobrol beneran, mana pakai intonasi segala. Sampai suatu hari mama dan nenek gw tahu apa yang terjadi sama gw karena tiap kali mereka suruh gw baca pake bahasa Inggris, gw malah ngibrit lari ke kamar.

Gw bersyukur dididik bener dalam keluarga, karena mama dan nenek gw saat itu ngajarin yang namanya kompetisi sehat dan mulai saat itu gw sangat mencintai yang namanya bahasa asing. Sekarang gw senyum kalau inget sama apa yang diucapin temen gw.

Seandainya gw ketemu dia, gw mau bilang gini "Lo bego banget, lo bangga karena lo tolol, ga ada kebisa dan ga mau nyoba" tapi ga deh, gw ga akan ngomong gitu. Justru gw berterimakasih sama dia karena berkat dia sekarang gw bisa terdampar di Jerman dan sudah tinggal disini selama 23 bulan. Apakah lantas gw yang udah 23 bulan tinggal di Jerman bisa lancar ngomong persis kayak orang Jerman tanpa melakukan kesalahan? Lo salah besar. Gw masih suka melakukan kesalahan dan orang Jerman juga demikian. Darimana gw tahu kalau ternyata mereka juga ngomongnya suka salah? Gw tinggal selama 22 bulan di keluarga Jerman dan selama itu gw mengobservasi tata cara mereka ngomong, intonasi, pelafalan hingga kesalahan-kesalahannya dan kalau mereka salah dalam segi tata bahasa, gw ga segan-segan untuk koreksi dan mereka juga seneng gw melakukan itu.

Gw selalu minder kalau orang Jerman bilang gw ngomongnya bagus, apa mereka nyindir? Gw selalu menanggapi bahwa bahasa gw belum bagus, gw masih harus sangat banyak belajar bahasa Jerman karena banyak yang gw belum pahami. Tapi kalian tau apa yang mereka bilang? "Ga usah khawatir, kami dididik untuk tidak menertawakan kesalahan yang dibuat oleh mereka yang sedang belajar karena itu akan membuat mereka kecewa dan memadamkan semangatnya. Kami juga mengakui bahwa bahasa kami susah dan satu hal yang harus kamu ingat, bahasa Jerman bukan bahasa kamu. Kami sudah senang jika orang asing mau mempelajarinya. Bahasa bukannya media untuk menyampaikan pesan? Jadi selama kami mengerti dan bisa berkomunikasi dengan kamu, apa yang harus kami permasalahkan?".

Selama disini gw banyak ngelakuin yang namanya analisis diri, apa mungkin bangsa Indonesia ga bisa maju secara optimal karena disebabkan oleh mental bangsa? Yang senang merendahkan kemampuan orang lain, yang hobi memberi kritik tapi anti jika sendirinya mendapat kritik, yang harus selalu menomor satukan gengsi supaya dihormati dan dipuji orang lain. Seandainya bangsa Indonesia bener-bener mengaplikasikan yang namanya Bhineka Tunggal Ika, ga akan terjadi kerusuhan dimana-mana. Seandainya orang Indonesia menerapkan toleransi yang dulu dipelajari di bangku SD, ga akan ada komentar-komentar menyakitkan mengenai agama seseorang karena bukankah kita mengenal yang namanya 'agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu'?

Ga usah menghina-hina orang lain karena dia ga lulus SMA. Ironinya, gw ngeliat para penghina tersebut menghina yang namanya seorang perempuan, seorang ibu dan menteri pertama Indonesia yang hanya mengantongi ijazah SMP menggunakan media yang dihasilkan oleh mereka yang drop out. Lo pikir yang bikin Facebook sekolah sampai ke negeri China? Lo pikir orang yang bikin laptop Apple mahal lo orang yang punya gelar berderet di belakang namanya? Gw bikin statement gini bukan karena gw setuju kalau pendidikan itu ga penting, justru gw sangat setuju kalau pendidikan itu penting, cuma ga usah lah sampai menghina pakai kata-kata kasar toh bahasa ga beli kok. Walaupun dia menuntut ilmu sampai gelarnya berderet-deret, kalau dia ngomong kasar dan tidak tahu tatakrama, maka sudah jelas kalau orang tersebut tidak berpendidikan, dia hanya belajar lebih lama dari orang lain. Respect: Learn it before you earn it. (Anthony Avila)

Pull yourself together people!!!

No comments:

Post a Comment

Kerja Sambilan di Jerman (Part II): Kerja (Sebagian Gelap) di Sembilan Tempat yang Berbeda

Bulan-bulan pertama setelah aku keluar dari rumah Gastfamilie  merupakan bulan-bulan yang sulit banget buat aku. Gak hanya dari segi keuanga...